‘TAMAN MINI WARUNG KOPI INDAH’
"Jika di TMII kau kan dimanjakan dengan segala bentuk keindahan yang ditawarkannya, maka di Warung Kopi, kau juga bakal menemukan panoramanya sendiri, lengkap dengan keragaman sajiannya. Sebab, tempat itu—Warung Kopi—juga sebuah ‘taman budaya’ yang juga dimiliki Indonesia dengan skala mini namun bermakna tak sepele bagi para ‘pemeluknya’. Tanpa sekat, tanpa kelas, tanpa kasta.”
_______________________________________
Kamis pagi, Begog tampak sangat suntuk dan kusut. Masih seperti biasa, jika sedang dihantam kepenatan begini, dia langsung meluncur ke warung kopi. Duduk santai dikawani kopcing pahit seraya menikmati beberapa batang rokok. Tapi, kali ini beda, dia hanya ngopi sendirian.
Setelah kopcing siap santap, mendadak dari samping ada yang menyapa. Begog sempat sedikit syok. Bukan sebab sapaan tersebut memecah diamnya, tapi karena yang menyapanya adalah sosok preman yang masyhur dikalangan masyarakat setempat. Akhirnya, terjadilah dialog di antara keduanya.
Mulanya, dialog tersebut terlihat biasa-biasa saja, hingga tiba si preman membicarakan sesuatu yang enggak lumrah di dunia preman, yakni hikmah dan ilmu, Begog pun tercengang. Dia kaget campur melongo tatkala si preman mengatakan bahwa ilmu itu merupakan minuman hidayah dan usaha penelaahan atas pelbagai keterangan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Sedangkan hikmah adalah sebuah pemberian Tuhan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Hikmah membuahkan ilmu yang mengajarkan posisi yang benar bagi segala sesuatu di alam semesta. Preman tersebut juga mengutip kata-katanya Sayyid Muhammad Naquib al-Attas, yaitu, “Seseorang yang ilmunya terdorong oleh hikmah akan dapat memosisikan segala sesuatu pada tempatnya yang benar”. Tanpa hikmah, seseorang akan tenggelam dalam lautan ilmunya karena tak memahami cara menempatkan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Hikmah adalah ilmu yang memberi tali kepada seseorang untuk mengendalikan ilmunya sehingga membuahkan kebaikan dan manfaat.
Mungkin—lanjut si preman—hikmah adalah aturan dan disiplin yang membentuk sistematika ilmu sehingga relasi antara sebuah ilmu dengan lainnya menjadi jelas. Dengan demikian, hikmah dapat dipahami melalui dua perspektif. Secara objektif, hikmah adalah jenis ilmu tentang hakikat alam semesta yang pada akhirnya adalah sebuah pemberian ilahi. Secara subjektif, hikmah adalah kekuatan intelektual manusia untuk menghubungkan dan membentuk struktur pengetahuan dalam diri sehingga tercipta keteraturan.
Orang yang memiliki hikmah akan mampu mengendalikan ilmu yang telah didapat sehingga memungkinkan upaya memahami hakikat semesta di luar sana. Maka, beruntunglah seseorang yang memiliki hikmah karena telah dianugerahi karunia yang dahsyat. Sumber hikmah adalah hati dan rahasia. Lalu, hikmah diartikulasikan melalui lisan dan menjadi sarana zikir dan renungan.
Ilmu adalah sebuah perjumpaan antara manusia dengan makna. Seseorang disebut mengetahui apabila ia memahami makna sebuah objek ilmu, bukan objek ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, al Imam ‘Ali al-Jurjani mendefinisikan ilmu—dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai ‘Pemberi’—adalah ‘sampainya (hasil) makna sesuatu pada akal’ (hushul ma’na al-shay’i fi al-‘aql). Adapun dalam kaitannya dengan manusia sebagai ‘pencari’—adalah ‘tibanya akal pada makna sesuatu’ (wusul al-‘aql ila ma’na al-shay’i). Oleh karena itu, ilmu terjalin di pertengahan antara karunia Tuhan dan usaha manusia untuk mencapainya.
Usai men-jlentreh-kan semua, Begog bertanya, “Lho Mas, darimana sampeyan tahu itu semua, padahal sampeyan kan preman?”
“Saya tahu itu semua dari beliau Bib Aji, saya sangat mengaguminya, meski beliau tidak kenal dengan saya”, sambil tersenyum, dia melanjutkan, “Mas, yang menyebut saya preman itu kan orang-orang, ya biarkan saja. Lhawong jaman sekarang ini rumusnya kan “ketenaran sama dengan kebenaran”. Artinya, jika saya sudah tenar disebut preman—dikalangan mereka—saya adalah preman beneran, tanpa mengidentifikasi terlebih dahulu. Orang lain kan hanya mampu melihat batunya, enggak tahu jika ada udang yang bersembunyi dibaliknya. Lagipula, mayoritas masyarakat kita sekarang ini banyak dihinggapi oleh cara pandang yang seperti ini. Iya kan?”
“Lagian,” dia melanjutkan, “Apakah mereka sudah benar-benar membuktikan kepremanan saya, maksudnya perilaku buruk saya kepada mereka? Apakah saya pernah menyakiti mereka? Mereka tahunya ya saya ini berbadan kekar, berambut gondrong, dan kerap terlibat dalam aksi perkelahian. Namun sebenarnya saya ini enggak pernah berkelahi, saya disana hanya berusaha melerai pertikaian semampu saya. Makanya, saya punya banyak teman dikalangan mereka, para preman itu.”
Mendengar ini, Begog hanya manggut-manggut tanpa komentar.
Usai ngobrol, Begog lantas beranjak pulang, tiba-tiba dari kejauhan dia melihat teman-temannya kumpul di angkring “Kampoeng Damai”. Ternyata, mereka sedang mengadakan sebuah bincang-bincang kecil—semacam sarasehan—yang ternyata sedang ramai membahas mengenai ilmu, maklum, teman-temannya adalah mahasiswa semua.
Tanpa basa-basi, Begog pun langsung ikut nimbrung. Acara saling gesek hasil pikiran, pendapat, dan wawasan pun berlangsung, Begog angkat suara, dan yang disuarakan Begog adalah suaranya preman yang baru saja dijumpainya di warung kopi tadi. Begitu Begog selesai bicara, spontan teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal.
“Hoalah Gog Begog, lhawong berandal kok kamu dengarkan”.
Lainnya pun menyahut, “Dia itu preman Gog, korak alias kotoran rakyat. Bukan seorang profesor atau orang yang terpelajar, kok kamu jadikan acuan pengetahuanmu, kan lucu jadinya”.
Merasa diremehkan, Begog tampak begitu kesal dan cepat-cepat pergi meninggalkan perkumpulan itu.
“Kirain ini acaranya orang-orang pinter, orang-orang mbeneh, ternyata kumpulannya orang-orang bego, konferensinya para Ahmaq. Sialan!” ujar batinnya.
**********
Kediri, 10 januari 2014.
Kamis pagi, Begog tampak sangat suntuk dan kusut. Masih seperti biasa, jika sedang dihantam kepenatan begini, dia langsung meluncur ke warung kopi. Duduk santai dikawani kopcing pahit seraya menikmati beberapa batang rokok. Tapi, kali ini beda, dia hanya ngopi sendirian.
Setelah kopcing siap santap, mendadak dari samping ada yang menyapa. Begog sempat sedikit syok. Bukan sebab sapaan tersebut memecah diamnya, tapi karena yang menyapanya adalah sosok preman yang masyhur dikalangan masyarakat setempat. Akhirnya, terjadilah dialog di antara keduanya.
Mulanya, dialog tersebut terlihat biasa-biasa saja, hingga tiba si preman membicarakan sesuatu yang enggak lumrah di dunia preman, yakni hikmah dan ilmu, Begog pun tercengang. Dia kaget campur melongo tatkala si preman mengatakan bahwa ilmu itu merupakan minuman hidayah dan usaha penelaahan atas pelbagai keterangan yang dapat mendekatkan diri kepada Tuhan semesta alam. Sedangkan hikmah adalah sebuah pemberian Tuhan kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Hikmah membuahkan ilmu yang mengajarkan posisi yang benar bagi segala sesuatu di alam semesta. Preman tersebut juga mengutip kata-katanya Sayyid Muhammad Naquib al-Attas, yaitu, “Seseorang yang ilmunya terdorong oleh hikmah akan dapat memosisikan segala sesuatu pada tempatnya yang benar”. Tanpa hikmah, seseorang akan tenggelam dalam lautan ilmunya karena tak memahami cara menempatkan data dan informasi yang telah dikumpulkan. Hikmah adalah ilmu yang memberi tali kepada seseorang untuk mengendalikan ilmunya sehingga membuahkan kebaikan dan manfaat.
Mungkin—lanjut si preman—hikmah adalah aturan dan disiplin yang membentuk sistematika ilmu sehingga relasi antara sebuah ilmu dengan lainnya menjadi jelas. Dengan demikian, hikmah dapat dipahami melalui dua perspektif. Secara objektif, hikmah adalah jenis ilmu tentang hakikat alam semesta yang pada akhirnya adalah sebuah pemberian ilahi. Secara subjektif, hikmah adalah kekuatan intelektual manusia untuk menghubungkan dan membentuk struktur pengetahuan dalam diri sehingga tercipta keteraturan.
Orang yang memiliki hikmah akan mampu mengendalikan ilmu yang telah didapat sehingga memungkinkan upaya memahami hakikat semesta di luar sana. Maka, beruntunglah seseorang yang memiliki hikmah karena telah dianugerahi karunia yang dahsyat. Sumber hikmah adalah hati dan rahasia. Lalu, hikmah diartikulasikan melalui lisan dan menjadi sarana zikir dan renungan.
Ilmu adalah sebuah perjumpaan antara manusia dengan makna. Seseorang disebut mengetahui apabila ia memahami makna sebuah objek ilmu, bukan objek ilmu itu sendiri. Oleh karena itu, al Imam ‘Ali al-Jurjani mendefinisikan ilmu—dalam kaitannya dengan Tuhan sebagai ‘Pemberi’—adalah ‘sampainya (hasil) makna sesuatu pada akal’ (hushul ma’na al-shay’i fi al-‘aql). Adapun dalam kaitannya dengan manusia sebagai ‘pencari’—adalah ‘tibanya akal pada makna sesuatu’ (wusul al-‘aql ila ma’na al-shay’i). Oleh karena itu, ilmu terjalin di pertengahan antara karunia Tuhan dan usaha manusia untuk mencapainya.
Usai men-jlentreh-kan semua, Begog bertanya, “Lho Mas, darimana sampeyan tahu itu semua, padahal sampeyan kan preman?”
“Saya tahu itu semua dari beliau Bib Aji, saya sangat mengaguminya, meski beliau tidak kenal dengan saya”, sambil tersenyum, dia melanjutkan, “Mas, yang menyebut saya preman itu kan orang-orang, ya biarkan saja. Lhawong jaman sekarang ini rumusnya kan “ketenaran sama dengan kebenaran”. Artinya, jika saya sudah tenar disebut preman—dikalangan mereka—saya adalah preman beneran, tanpa mengidentifikasi terlebih dahulu. Orang lain kan hanya mampu melihat batunya, enggak tahu jika ada udang yang bersembunyi dibaliknya. Lagipula, mayoritas masyarakat kita sekarang ini banyak dihinggapi oleh cara pandang yang seperti ini. Iya kan?”
“Lagian,” dia melanjutkan, “Apakah mereka sudah benar-benar membuktikan kepremanan saya, maksudnya perilaku buruk saya kepada mereka? Apakah saya pernah menyakiti mereka? Mereka tahunya ya saya ini berbadan kekar, berambut gondrong, dan kerap terlibat dalam aksi perkelahian. Namun sebenarnya saya ini enggak pernah berkelahi, saya disana hanya berusaha melerai pertikaian semampu saya. Makanya, saya punya banyak teman dikalangan mereka, para preman itu.”
Mendengar ini, Begog hanya manggut-manggut tanpa komentar.
Usai ngobrol, Begog lantas beranjak pulang, tiba-tiba dari kejauhan dia melihat teman-temannya kumpul di angkring “Kampoeng Damai”. Ternyata, mereka sedang mengadakan sebuah bincang-bincang kecil—semacam sarasehan—yang ternyata sedang ramai membahas mengenai ilmu, maklum, teman-temannya adalah mahasiswa semua.
Tanpa basa-basi, Begog pun langsung ikut nimbrung. Acara saling gesek hasil pikiran, pendapat, dan wawasan pun berlangsung, Begog angkat suara, dan yang disuarakan Begog adalah suaranya preman yang baru saja dijumpainya di warung kopi tadi. Begitu Begog selesai bicara, spontan teman-temannya tertawa terpingkal-pingkal.
“Hoalah Gog Begog, lhawong berandal kok kamu dengarkan”.
Lainnya pun menyahut, “Dia itu preman Gog, korak alias kotoran rakyat. Bukan seorang profesor atau orang yang terpelajar, kok kamu jadikan acuan pengetahuanmu, kan lucu jadinya”.
Merasa diremehkan, Begog tampak begitu kesal dan cepat-cepat pergi meninggalkan perkumpulan itu.
“Kirain ini acaranya orang-orang pinter, orang-orang mbeneh, ternyata kumpulannya orang-orang bego, konferensinya para Ahmaq. Sialan!” ujar batinnya.
**********
Kediri, 10 januari 2014.

Responses
0 Respones to "‘TAMAN MINI WARUNG KOPI INDAH’"
Post a Comment