Serambi Seribu Serbi

space disewakan

Mengkaji ‘Universitas Modern’



Mengkaji ‘Universitas Modern’


“Bib, ijin nyuwun hasil diskusinya, ya” pintaku.

Nggih, monggo” jawab beliau.

Malam ini, usai mendapat ijin dari beliau, Bib Aji, langsung saja hasil diskusi tersebut saya share—bagi yang memang minat membaca atau bahkan mengkaji—moga manfaat.

“Sebentar lagi, saya akan mendiskusikan beberapa kritik atas ide dan aspirasi universitas modern.” beliau memprologi ulasannya.

Kemudian beliau melanjutkan, “Diantara kritik keras atas konsep dan ideal universitas modern datang dari filsuf kontemporer, Alasdair Macintyre. Dalam pandangan Macintyre, janji universitas modern tidak pernah terealisasi. Universitas modern berbasis pada keyakinan mungkinnya rasionalitas otonom.

Yang dimaksud dengan rasionalitas otonom adalah rasionalitas yang tak terjangkar pada sebuah tradisi moral. Salah satu tradisi moral yang paling kompleks tentu saja adalah agama. Rasionalitas otonom adalah justifikasi universitas modern sebagai salah satu bagian proyek Pasca-Pencerahan (Post-Enlightenment). Salah satu teoretikus universitas modern adalah filsuf Jerman, Immanuel Kant.

Bagi Kant, pemikiran dan pengajaran di universitas modern akan mampu berdiri sendiri di atas otoritas nalar. “Nur unter der Gesetzgebung der Vernuft”, begitu ungkap Kant dalam Streit der Fakultäten. Jika orang-orang yang tergabung dalam universitas dapat berdiri di atas pondasi nalar, maka jurusan dan ilmu yang berbeda akan mencapai sebuah titik temu.

Professor dan mahasiswa dari jalur studi yang berbeda akan sampai pada bangunan ilmu yang universal karena ilmunya berdasar nalar. Mereka juga akan sampai pada bahasa moral dan epistemologi yang sama. Inilah janji universitas modern menurut Kant. Nalar yang terbebas dari segala bentuk otoritas dan tradisi akan mampu menyatukan mereka yang tergabung dalam universitas.

Proses menyatunya segala bidang ilmu ini pula lah yang memotori proyek penulisan encyclopedia. Diantara proyek encyclopedia yang secara eksplisit mengemukakan visi tersebut adalah Encyclopedia Britannica edisi 9. Namun, menurut Macintyre, justru janji dan aspirasi universitas modern tersebut tidak pernah terwujud. Alih-alih membangun sebuah satu bahasa ilmu yang universal, universitas modern justru mewujudkan proses fragmentasi ilmu.

Universitas modern gagal membangun bahasa ilmu yang rasional dan ensiklopedis. Yang dihasilkan justru fragmentasi ilmu, kebingungan, krisis, dan frustasi. Universitas modern, bagi Macintyre adalah proyek mencari tujuan baru dan merevisi legitimasi yang selalu berubah. Seperti Sisyphus. Kritik senada juga dilontarkan oleh filsuf Jean-Francois Lyotard dalam bukunya Postmodern Condition.

Postmodern Condition (1979) adalah sebuah buku yang dikomisikan oleh dewan universitas Quebec, untuk mengevaluasi kondisi universitas. Dalam kesimpulannya, Lyotard menyatakan bahwa bangunan universitas modern tidak memiliki pusat yang mampu mengikat seluruh bagiannya. Universitas sebagai situs produksi ilmu di era mutakhir terlihat berada dalam krisis yang menunjukan erosi dan fragmentasi internal.

Jaring encylopedis yang menyatukan disiplin-disiplin ilmu di universitas modern tak mampu lagi menampung perkembangan yang ada. Akibatnya, menurut Lyotard, jaring tersebut sobek, dan disiplin-disiplin ilmu berkembang sendiri-sendiri tanpa mampu disatukan. Seperti Macintyre, Lyotard juga menangkap kegagalan konsep dan ideal universitas modern. Hanya saja Lyotard melihat kemungkinan lain.

Diantara sejarawan Amerika, ada George Marsden yang secara provokatif menyuguhkan narasi pesimistik tentang universitas modern. Menurut Marsden, universitas modern hanyut dalam samudera kontradiksi dan gagal memfasilitasi dialog bermakna antar disiplin dan fakultas. Masing-masing disiplin dan fakultas berdiri di atas ideologinya sendiri-sendiri, tanpa mampu membentuk kesatuan.

Contemporary university culture is hollow at its core… knowledge today is oriented toward the practical - Marsden. Kultur universitas kontemporer kosong di pusatnya, ilmu lebih terorientasi pada hal-hal praktis. Di setiap disiplin ilmu, percepatan arus informasi justru menjadikan keahlian sebagai sesuatu yang terfragmentasi. Isu-isu yang dibahas di universitas semakin menjauh dari isu-isu besar yang dihadapi oleh kehidupan manusia pada umumnya.

Ideal riset sains-teknologi sepertinya berkerja dengan baik, namun bukan berarti ideal tersebut juga baik untuk ilmu-ilmu humaniora. Kebijaksanaan (wisdom) bagi Marsden adalah kosa kata yang hilang dari sistem universitas modern. Nada yang sama juga dilontarkan mantan presiden universitas Harvard, Derek Bok. Menurut Bok, universitas kontemporer hanya berkutat pada transmisi fakta, keahlian, metodologi, tanpa memahami pentingnya pendidikan moral.

Ikatan kuat harus terjalin antara asumsi ilmu pengetahuan dan kemampuan dan kesiapan subyek dalam mengemban nalar moral. Universitas modern, bagi Macintyre tidak hanya gagal dalam membangun pondasi epistemis yang kuat. Universitas modern juga tak mampu mendiskusikan dan menawarkan solusi atas dilema moral yang dihadapi umat manusia.

Universitas modern telah menjadi tempat di mana segala perdebatan tak mampu mencapai kesimpulan. Bagi Macintyre, ini karena ketiadaan persetujuan tentang prinsip-prinsip filosofis awal. Sehingga, tidak ada paradigma yang mampu menfasilitasi pencapaian resolusi dari segala perdebatan. Seperti para teolog di abad pertengahan, akademisi universitas modern tak lagi mampu membangun kesepakatan paradigmatik.

Akibatnya, seperti teolog abad pertengahan, para akademisi berdiri pada posisi ideologisnya masing-masing. Setiap profesor, madzhab, sekolah, dan universitas justru sibuk mempertahankan ortodoksi epistemisnya. Mereka sibuk mengkritik posisi yang lain, membentuk lingkaran tanpa henti dan perdebatan-perdebatan melelahkan.

Ironis, menurut Macintyre, bahwa universitas modern dahulu mengkritik para teolog yang tak mampu menghasilkan bahasa ilmu yang universal. Mereka menganggap universitas modern akan berbeda dengan studium teologis yang berkutat pada perdebatan tanpa henti. Namun, universitas modern kini justru masuk ke dalam perangkap yang sama.

Universitas moderen dibangun di atas keinginan untuk membangun situs ilmu pengetahuan yang berbeda dari studium teologis. Namun, universitas modern justru kini semakin mirip dengan studium teologis abad pertengahan dengan segala perdebatan tanpa henti. “Menjadi wacana-wacana yang mengambang tanpa terjangkar pada realitas”, begitu ungkap Imam Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah.

Jika ungkapan al-Ghazali menggambarkan para teolog/ filsuf di zamannya, mungkin ungkapan tersebut masih relevan berkenaan dengan universitas modern. Mungkin, cukup sekian diskusi dari beberapa kritikus universitas modern. Semoga bermanfaat sebagai bahan refleksi.”


                                                                       *********

26 Maret 2014. Tentang penulis : KoKo
Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

0 Respones to " Mengkaji ‘Universitas Modern’"

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris