Serambi Seribu Serbi

space disewakan

SADAR KEGILAAN di PERCATURAN SEBELAH



SADAR KEGILAAN di PERCATURAN SEBELAH

“Gila kewarasan, Waras kegilaan. Diam-diam, aku amat menaruh kasih atas golongan yang benar-benar waras—manusia-manusia baik—yang kerap dianggap gila oleh komunitas yang benar-benar gila dan kelompok yang hanya mengaku-ngaku waras—manusia-manusia kurang baik—pun juga para ‘terkasih’ ialah orang-orang yang sangat ‘gila’ yang tak banyak orang tahu kepada siapa ia gila”.
-el Hakiem-

Semenit saja, kiranya cukup untuk menyadari bahwa orang gila lah yang mampu benar-benar gila, namun jarang sekali orang waras yang mampu benar-benar waras. Bukan karena aku sadar dan waras, lantas aku petentang-petenteng berlagak menjelaskan tentang ‘gila’. Justru, aku ini si gila yang ngesot dijalanan mengemis kesadaran dan berharap kewarasan dari debu-debu kegilaan yang membuat mata sadarku klilipen hingga hilang kesadarannya.

Bukan, bukan gila fisikal yang kumaksudkan—yakni orang-orang semrawut dan kotor yang kerap kita jumpai ndleming sendiri menyusuri panjangnya jalan. Bukan juga gilanya manusia-manusia yang sedang dimabuk cinta layaknya Muhammadal Majdzub, yang tiap kali berpapasan dengan orang yang hendak melakukan keburukan, dia langsung mendaratkan tinjunya di dada orang tersebut, hingga lenyaplah niatan jahatnya, apabila pukulannya ditangkis, lumpuhlah tangan tersebut dengan seketika. Juga bukan Ibrahim al ‘Uryan, si telanjang, yang tak jarang berpidato di atas mimbar dalam keadaan telanjang bulat, namun apa yang disampaikannya adalah peristiwa-peristiwa yang berkaitan selama sepekan mendatang, dan tak sekalipun meleset. Atau yang disana, Uwais, yang menyaksikan keelokan Penciptanya melalui keindahan Laila, dan untuk memahami ini, dibutuhkan hatinya Uwais—bukan mereka semua, karena sebetulnya mereka tidaklah gila, hanya orang-orang mendem yang sedang dimabuk asmara.


Tapi gila yang ku kehendaki adalah lemahnya membaca diri sendiri, tak pandai mengenali sentuhan-sentuhan lembut disekitarnya, minim kepekaan, juga cingkrang dalam memaknai dan menyikapi segala bentuk bahasa peristiwa. Betapa berserakan pribadi-pribadi yang bangga menertawakan momok orang lain, dan dalam waktu yang bersamaan memuja dan mengelu-elukan diri sendiri. Dimana letak sadarnya? Tidak ada. Mereka tidak menyadari atau hanya pura-pura tidak tahu kalau sikap yang demikian justru menyamakan derajatnya dengan laler ijo yang rajin berpesta dan menikmati tai tetangganya sendiri,  juga tumo yang menari-nari diatas borok. Itu yang kumaksud ‘gila’.

Miskinnya kontemplasi, internalisasi diri, atau sekadar semedi sebentar guna mencatat kekurangan dan kekeliruan diri, mungkin salah satu penyokongnya. Padahal dalam diri kita terdapat bahan bacaan yang tak akan habis jika dibaca dan dikaji selama seumur hidup. Iya kan? Kita mungkin terlalu sibuk mengolah tai orang lain agar kian bersemangat menyantapnya ketika dihidangkan di meja pertemuan, sedangkan kita malas berpikir apakah kita ini manusia ataukah penikmat tai.

Mungkin, sejak kecil, kita acapkali berlebihan mengecap diri sebagai orang yang benar-benar sadar dan waras, sedang yang lainnya gila. Sehingga potensi-potensi untuk menggali dan menemukan kegilaan-kegilaan diri sudah tak ada.

Alamaak... kalau memang seperti itu, mampuslah kita!

Tentu, kita sering mendapati orang-orang gila diluar sana, kita ambil satu dari sekian contoh, yakni para koruptor dan pelacur-pelacur yang bertebaran di dunia politik—yang dengan kejam mengubur citra para politikus baik dan bersih, hingga akhirnya banyak masyarakat men-generalisasi-kan asumsi bahwa politik itu selalu kotor dan busuk—Sepintas mereka tampak seperti manusia terdidik dan terpelajar, lulusan Universitas luar negeri dengan membawa pulang IP memuaskan, pakaian dan gaya rambutnya yang rapi, plus roda empat-nya yang menawan. Tapi kelakuan mereka begitu mengerikan, mereka tega merampas pulukan-pulukan nasi para buruh tani dan kaum kolong jembatan. Mereka rebut kepala ikan asin dimulut kucing yang sudah dua hari menahan lapar. Mereka tendang anak-anak bangsa dari ruang pendidikan, dan mereka lemparkan ke jalanan. Mereka menghapus harapan dan peluang generasi-generasi garuda, harapan dan peluang untuk sekadar mencicpi materi pelajaran, hingga akhirnya yang ada dipikiran mereka hanyalah secuil prinsip bertahan hidup, “Enggak perlu sekolah, buang-buang waktu saja, yang penting kerja, kalau enggak kerja ya enggak makan”. Tak ada waktu buat mereka untuk memperindah kehidupan, karena mereka cuma diberi satu opsi, survive.

Asumsiku, pada mulanya para koruptor yang mengangkangi kekuasaan itu adalah orang-orang sadar dan waras, tapi akhirnya, setelah tak tahan melihat bahenol-nya uang dan kekuasaan yang begitu memikat, mereka terlempar atau malah sengaja melemparkan diri ke jurang kegilaan yang luar biasa dampak individu maupun sosialnya itu. Atau, mereka tak pandai memanajemen kesadaran itu sendiri, ujung-ujungnya lost control. Ada yang tidak beres seputar komunikasi antara hati dan akal mereka. Itulah sebabnya kenapa Sunan Kalijaga dulu ketika sedang mengasah pisaunya, tanpa sengaja beliau memotong lehernya hewan kecil, orong-orong, lantas beliau—dengan kuasa Allah—menyambungnya lagi. Ini sebuah pesan, bukan sekadar cerita sakti yang dijadikan referensi cerita-cerita sebelum tidur. Artinya antara kepala (akal) dan badan/dada (hati) itu tidak boleh dipisahkan, mereka adalah satu kesatuan yang saling membutuhkan. Jika hanya akal, maka dikhawatirkan hanya akan memupuk potensi untuk mengakali orang lain. Sedangkan jika hati saja, ditakutkan hanya akan membuka kesempatan-kesempatan untuk diakali, dimanipulasi, dan dijajah orang lain. Maka dari itu, antara “yadzkurun” dan “yatafakkarun” haruslah bekerja laiknya sayap.

Sekali lagi, aku tidak punya maksud untuk sibuk mengutuk kegilaan-kegilaan yang mereka lakukan, sebab aku bukan babi yang rajin makan tai. Aku hanya mencoba untuk tekun membaca diriku sendiri serta meng-ijrah abjad-abjad kelakuanku. Lagipula, aku masih belepotan dengan tai-ku sendiri, dan aku akan terus memperjuangkan sisi kemanusiaanku—meski seringkali terjatuh menjadi babi—sehingga aku tahu tugasku, yaitu membersihkannya—sesuai fitrah—bukan malah menjilati kotoranku sendiri apalagi kotoran orang lain.

Rabbi Ighfirliy....

Aku berusaha untuk tidak memperhitungkan jika ada orang lain yang menganggapku gila atau tidak waras, bahkan akan kupercepat lajuku untuk masuk dalam komunitas ‘manusia pemaaf’—moga aku senantiasa diberikan kemampuan seperti itu—Aku juga percaya bahkan sangat yakin, masih ada ‘Pemasok’ kewarasan untukku dan manusia-manusia gila sepertiku, meski kegilaan demi kegilaan yang diperbuat tangan, kaki, otak, dan hatiku itu sudah mencapai titik puncaknya.

Wallahu a’laam...


                                                                           *******

Kediri, 28 Januari 2014.
Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

0 Respones to "SADAR KEGILAAN di PERCATURAN SEBELAH"

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris