Serambi Seribu Serbi

space disewakan

SE-BAIT LAGU ANAK-ANAKMU, WAHAI NEGERIKU



Tak ada maksud lain, hanya bercerita kecil. Jadi, tujuan saya adalah ndongeng, atau sekadar bernyanyi. Tapi, kali ini yang ingin kunyanyikan ialah lagu negeri yang genre-nya ‘keserakahan dan lensa pinggiran’. Saya yakin, tidak sedikit dari kita yang sudah mengerti terma kapitalisme, atau bahkan lebih lihai menjabarkan hitam-putihnya, sepak terjangnya, arah tujuannya, maksud langkah-langkahnya, atau malah jangan-jangan kita sendiri berada dalam lingkaran permainannya, ikut andil memupuknya biar kian subur dan berkembang, entahlah. Namun, yang pasti keserakahan itu bukanlah sesuatu yang elok.

Betapa banyak di negeri ini manusia-manusia yang kredo hidup atau pendidikan moralnya adalah ‘kesenangan sama dengan kebaikan’, ya itulah hedonisme. Asal perut kenyang, hati senang, itulah kebaikan, persetan dengan keadaan kiri-kanan, masa bodoh dengan bening-keruhnya jalan. Ia sibuk menekuni bangku demi bangku sekolah hanya agar menjadi penguasa yang mampu mengangkangi pundak-pundak kaum ‘olokan’ dengan leluasa. Bekerja siang malam hanya demi kemenangan tender, penguasaan modal, pembengkakan saham, atau keganasan-keganasan lainnya.

Sekali lagi, saya tidak bernyanyi tentang kaum terhormat berkantong tebal, tapi bangsa kapitalis yang garang memakan apapun dengan cara dan jalan yang bagaimanapun. Toh, keduanya tidak bisa dipersamakan begitu saja. Di luar, mereka memang tampak begitu ramah dan lembut, hobi melambai-lambaikan tangan sambil menabur senyum dari dalam rolls royce phantom-nya. Namun, di dalam, mereka punya pelbagai peta strategi yang berisi pedang dan tombak, yang siap menyingkirkan duri-duri jalan mereka dan juga siap menghujani lawan-lawan mereka. “Asal menang, Papa senang”.

Mengenai agama, mereka bilang, “Untung ada agama, yuk kita renovasi biar menjadi mesin pencetak uang”. Jika banyak pemeluk agama yang bilang kalau agama itu turun sebagai pedoman langkah, peta kehidupan, kompas perilaku, maka, jangan banyak berharap menemukan persepsi yang sama jika kamu sedang duduk bareng bersama makhluk yang bernama ‘keserakahan’. Karena apapun akan dimakan, termasuk agama. Misalnya, mereka merancang sebuah acara yang berwajah agama yang sekiranya banyak diminati masyarakat—atau lebih tepat, mangsanya—sekadar contoh, dengan gampang mereka memainkan cetak-instan para pendakwah atau penyeru agama, ya jadinya seperti itu, ketika ada tanya-jawab secara live, da’i tersebut selalu mampu menjawab dengan ringan dan lancar, tak peduli dengan tepat-enggak-nya jawaban tersebut.

“Yang penting saya jawab, sami’in angguk-angguk, beres kan?”. Secara pribadi, saya sering dibuat kesal dengan pemandangan seperti ini, karena tak jarang juga mereka melakukan kengawuran-kengawuran, padahal ini masalah esensial, problematika masyarakat. Tapi untung saja ada yang membisiki saya, “ya maklumlah, sudah naik panggung dan disorot masyarakat luas, kalau tidak dijawab kan gengsi. Punya nama yang sudah melangit, kalau sampai bilang tidak atau belum tahu, mau ditaruh dimana mukanya? Lagian, sami’in paling-paling juga tidak tahu kalau dikibulin”. Mendadak, saya teringat ucapan panjenenganipun Gus Mus, “sebelum pintar, keburu terkenal”.

Sedang, dibalik pintu, kapitalis bilang, “Terimakasih banyak Tuhan, Engkau telah menurunkan agama-Mu untuk kemakmuran kami, saya tambah yakin jika agama itu memang benar-benar rahmat”.

Aaah, sudahlah... Kita tentunya tak bakal kesulitan jika ingin mencari gambaran-gambaran lain seputar percaturan mereka.

Sekarang kita tengok sebentar lukisan pinggiran negeri ini, saya akan menceritakan apa yang pernah guru saya ceritakan, tentang Pak Wongso dan isterinya, Bu Wongso. Pak Wongso adalah pemilik warung klasik di barat perempatan Wirobrajan, terkantuk-kantuk sepanjang malam tatkala meladeni tamu-tamu pembeli jualannya. Kalau kamu mau cari nasi atau rondo kemul-nya gampang sekali. Atau sikat itu rempeyek dan pisang gorengnya sepuluh biji, nanti bilang saja cuma habis tiga. Pak Wongso tak akan menangkap basah setiap pencuri.

Ia ‘fly ’terus. Ia pasti sudah bayangkan kemungkinan pencurian itu, tapi ia pasrah. Becik ketitik olo ketoro. Ada piwales. Ada walat. Maka, ia ngantuk terus. Mesti pesan teh kental tiga empat kali baru dibikinkan. Dia raih gelas, memasukkan sendok ke toples gula, sang tangan tertidur sebentar di dalamnya sampai Anda tegur untuk meneruskan kegiatannya. Ia mengambil ceret air panas dan menumpahkan air itu ke gelas sambil tidur hingga meluber dan air panas itu melimpah menciprati pahanya, baru ia terbangun kembali.

Ia mengembalikan uang kembalian Anda dengan mengantuk. Mungkin saja ia memberikan lembaran ribuan untuk yang seharusnya ratusan. Bu Wongso setali tiga uang. Mencuci gelas dan piring dengan ‘fly’  juga. Besok pagi tiba-tiba mereka lenyap tak berjualan sampai beberapa lama. Ternyata pulang mudik. Ke daerah Madiun, jalan kaki. Kok tidak naik bus atau sepur? “Wong jalan kaki saja bisa kok, repot-repot naik bis, nak!”.

Pak Wongso berjualan tidak dengan keketatan disiplin bisnis. Berjualan adalah wujud ungkapan hidupnya, lengkap dengan integritasnya, moralitas, dan kesetiaan. Bahkan wujud kesatuan dan kepasrahannya dengan Kang Murbeng Dumadi. Eksistensi ialah “lenyap” ke Sang Nya itu. Sehingga perlakuan para penipu itu terpulang kepada-Nya. Betapa keriuhan hidup dunia ini “tak terlampau penting”, betapa sementara, amat sementara.

Pak Wongso tidak gandrung terhadap Dewa Kemajuan.

Tentu saja pola integritas semacam ini dungu dan tidak menguntungkan. Tentu saja usahanya “tak berkembang”. Secara naluri dan tradisi, mereka mungkin melakukan sesuatu yang lebih tinggi, paling tidak ‘sesuatu’ yang lain.

Namun, apakah lantas dengan ‘menampar’ pipi para kapitalis dan seolah-olah ‘mengelus lembut’ pundak Pak Wongso, saya ini mulia? Jawabku, “Tidak!, sama sekali tidak!”. Mustahil kalau saya tanpa borok, tidak mungkin jika saya bebas cacat. Saya juga mempunyai banyak sisi bajingan tersendiri, punya banyak sekali lagu-lagu kebajinganku sendiri.

Barusan, saya hanya sekadar bernyanyi. Tak lebih.


                                                                     ***********

Mahasiswa lepas.
Kediri, 08 Februari 2014.
Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

0 Respones to "SE-BAIT LAGU ANAK-ANAKMU, WAHAI NEGERIKU"

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris