Serambi Seribu Serbi

space disewakan

Generasi Miskin Reaksi, Bikin Sang Profesor Masuk Angin



         Begini, pertama, ini sama sekali bukan antologi jenis apa pun. Sebab, awalnya saya hendak menyanyi, karena nihil bakat disana, akhirnya saya paksakan nyanyian itu menjelma menjadi entitas lain—yakni rangkaian abjad-abjad—Jadi, sebetulnya ini merupakan nyanyian, bukan karya tulis. Maka cara memperlakukannya pun sudah semestinya seperti nyanyian.

         Jika saya demonstrasikan secara sederhana, mungkin lebih mendekati kepada lagu-lagu klasik—misal Beethoven—yang amat digandrungi oleh para penikmatnya disenja hari sambil duduk-duduk santai diatas kursi goyang, sedang disampingnya tersaji dua buah pisang goreng dan segelas teh hangat. Dan kedua, nyanyian ini tak punya ambisi atau nafsu apa pun selain sekadar refleksi kelas teri. Siap ditelan juga sangat siap dimuntahkan.

         Nyanyian itu...

         Pada mulanya, di awal pertengahan Februari, Pak Kades terlihat sangat sibuk kesana-kemari dengan dandanan formal, entah urusan apa yang sedang membuatnya sibuk. Tapi, beberapa hari kemudian saya mengerti. Ternyata, Pak Kades sedang membuat semacam ‘program keilmuan’ desa yang pretensinya adalah ‘menyentil’ para pemuda desa. Sebuah manuver untuk menggalakkan agresivitas intelektual mereka.

         Acaranya digelar di serambi sampai ke pelataran masjid, dengan menghadirkan seorang profesor, entah siapa namanya, aku lupa. Sebab, saya hanya tahu kalau profesor itu pastilah mahal harga otaknya alias orang jenius. Sebatas itulah pengetahuanku atas tamu undangan yang rapi itu. Riuh rendah serta gegap gempita acara desa saya tersebut.

         Saya tak tahu bagaimana prolog acara itu, sebab saya mesti menuntaskan dulu urusan saya dengan kambing-kambing saya dirumah, dosa jika saya tinggalkan begitu saja. Saya sudah membayangkan terlebih dahulu dan siap jika nantinya hanya kebagian kursi buntut atau bahkan tak dapat kursi. Begitu tiba ditempat, saya mendapati sang profesor berkata:

         “...sebagai ekspresi kultural, penyebaran Islam di Nusantara mengalami dua proses sekaligus. Meminjam istilahnya Fadlou Shahedina, yaitu proses adopsi (to adopt) elemen-elemen kultur lain, dalam hal ini kultur Nusantara. Dan pada saat yang sama, terjadi proses seleksi atau adaptasi (to adapt) kultur luar tersebut dengan nilai-nilai kultur internal”.

         Sang profesor berhenti sejenak. Dan melanjutkan, “Lho, janjinya tadi ini kan diskusi, kok enggak ada sanggahan, tanggapan, atau tambahan apa pun dari saudara-saudara. Kok dari tadi saya terus yang ngomong. Diskusi itu semua boleh menyuarakan pendapatnya, tidak sentral kayak begini.  Masa tidak ada yang tanya apa gitu?

         Semua diam.

         “Ayo dong...”

         Masih diam. Wajah mereka, termasuk saya, tak mengungkapkan diri apapun. Muka tanpa ekspresi. Tapi, mudah-mudahan bukan generasi tanpa ekspresi.

         “Ayolah, ada apa dengan kalian semua? Saya yakin disini pasti banyak yang berpendidikan” sang profesor masih mengejar.

         Saya tak mengerti kalau ternyata saya datang sangat telat, diskusi sudah berjalan lama, tapi terus-menerus beku seperti ini. Maklum jika sang profesor mulai kelihatan mimik jengkelnya. Akhirnya, salah seorang kawan mengacungkan tangannya, kawan saya yang terlugu. Ternyata dia minta izin untuk sekadar membacakan sebuah puisi yang—menurutnya—bisa membantu mengatasi kebekuan ini.

         Akhirnya, izin pun dikabulkan, dia maju ke depan dan mulai melantunkan puisi rancangannya yang paling orisinal:

         Air, air itu cair

         Sebab ia adalah benda cair.

         Batu, batu itu keras

         Karena ia merupakan benda padat.

         Jika satu ditambah satu lahir dua

         Maka, lima dikurangi dua tentulah tiga hasilnya.


          Serontak, semua pendengar tertawa jingkrak-jingkrak begitu mendengar puisi tolol ini, begitu juga sang profesor yang terkekeh-kekeh. Namun kawan saya ini tetap diam seraya menundukkan kepalanya. Ia merasa tak ada yang lucu, jadi, sangat aneh jika ditertawakan.

           “Puisi macam apa itu?” tanya profesor sambil tertawa mengolok.

           “Itu puisi buatan saya sendiri, Pak. Saya tak menghendaki ada muatan yang lucu dalam puisi itu. Saya hanya membuat puisi kejujuran dan kepastian. Air itu benda cair dan batu merupakan benda padat menurut saya adalah sebuah kejujuran, dan satu ditambah satu sama dengan dua merupakan sebuah kepastian. Kejujuran dan kepastian yang saya yakini terbebas dari rekayasa atau hipokrisi apa pun” jawabnya tetap lugu.

            Yang tadinya ramai tawa, sekarang tiba-tiba sunyi kembali. Semua merasa bersalah dan sangat bodoh. Namun kami tetaplah kami, masih begitu blo’on, waras sedetik, gilanya berabad-abad. Sentuhan puisi murni itu hanyalah seperti angin lirih saja, terasa, tapi tak mampu meninggalkan dampak-jejak apa pun.

            “O, ternyata kalian ini sangat menggilai lawakan ya daripada keseriusan? Mau jadi generasi yang seperti apa jika hobinya melawak? Generasi pelawak? Apa sih yang pantas dibanggakan dari pelawak? Ha...?” Sang profesor kembali bertanya.

            Mendengar ada yang mencela lawakan, saya pun merasa keberatan, tak terima dan hampir-hampir naik pitam. Lantas saya berdiri, dan dengan suara keras saya berkata, “Maaf, Pak Prof, saya kurang setuju jika ada yang menghujat lawakan. Sebab, lawakan itu sangat penting dan sense of humor perlu dilestarikan. Menurut apa yang pernah saya dengar dan rasakan, dunia lawak itu merupakan ekspresi dari sikap kebebasan subjektif yang mampu menembus dan mengatasi banyak dimesi kehidupan.

            Dibanding yang mampu ditembus oleh dimesi modus ekspresi lainnya. Barangkali karena salah satu bahan baku lawakan adalah lamunan. Lamunan bisa membebaskan diri dari bermacam keterbatasan. Ruang yang tersedia untuk lamunan hampir tak terbatas, meski daya jangkau lamunan manusia tentu ada batasnya juga. Lamunan adalah simbol paling elementer dari kebebasan”.

            “Ah, kamu. Hanya mencari-cari alasan saja. Yang serius dong!”

            “Kurang ajar! Katanya diskusi, kok argumentasi saya tak dihargai sama sekali. Katanya, seorang profesor, kok sikapnya ingin menang sendiri. Katanya, disuruh berpendapat, tiba giliran bersuara, malah diolok-olok. Katanya, orang pandai, kok mintanya dijangkau dan ogah-ogahan menjangkau. Padahal, rumusnya kan situ mestinya yang lebih bisa menjangkau keterbatasan kita. Profesor model apa ini! Huh!” Protesku dalam hati. Hanya dalam hati.

             “Ayolah kawan-kawan, yang serius dong. Suaranya mana? Jangan begini terus! Ada apa sih dengan kalian semua?”

             Masih diam.

             “Apakah anda-anda adalah generasi tanpa kehendak? Generasi tanpa aspirasi? Generasi tanpa  identitas? Generasi tanpa orientasi? Generasi tanpa integritas? Generasi yang sama sekali tak memiliki kejelasan ide? Generasi yang tak punya tradisi berpikir atau merenung? Generasi yang tanpa rasa malu menyebut dirinya calon intelektual padahal sama sekali tidak menempuh internalisasi apa pun untuk sebutan itu?

              Generasi yang tak punya komitmen apa pun terhadap persoalan-persoalan yang ber-seliweran disekitarnya? Generasi yang hanya mengerti keasyikan-keasyikan dangkalnya sendiri? Generasi hura-hura?Generasi mengambang? Generasi tanpa imajinasi? Generasi tanpa perspektif pikiran? Generasi miskin wawasan?” Berondong sang profesor.

              Makin diam. Makin sunyi. Dan semakin hening.

              Akhirnya diskusi macet total, sang profesor pun langsung masuk angin dan cepat-cepat pulang. Tidur.

___________________
*Jika kita berada diposisi profesor tersebut, akankah kita bersikap seperti itu? Meludahi suara yang datang, menertawakan kejujuran serta bersikap egoistis, minta digapai kiri-kanannya, sedang ia sendiri tak mau berusaha menggapai. Bukankah orang berjabat tangan itu sama-sama mengulurkan tangannya?

*Dan andai kita diposisi para pemuda itu, masak iya kita ingin seperti itu? Generasi yang kurang peka, generasi yang sakit, dan generasi yang kurang waras, tentunya. Pastinya tidak.


Ah, sudahlah.

                                     
                                                                    ***********


Kediri,12 Maret 2014.
Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

0 Respones to "Generasi Miskin Reaksi, Bikin Sang Profesor Masuk Angin"

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris