26 Januari 2014 pukul 13:46
”Suatu
perhubungan antarmanusia yang tak sekadar saling menggesekkan hasil
pikiran, pendapat, wawasan, dan keyakinan, tetapi melibatkan seluruh
kebulatan kejiwaan manusia itu secara hampir telanjang. Artinya dipenuhi
semangat menemukan kebenaran, kesiapan untuk menyaksikan kekeliruan
diri, rileksitas dalam benturan dan perbedaan, serta keikhlasan di dalam
saling menginsafi keterbatasan diri sendiri” kata bapakku.
_____________________________________
“Edaaan... edan kabeh! Gembluuung... gemblung kabeh!” begitulah,
dia terus mengucapkan cacian-cacian sambil mondar-mandir dan meludah
dimana-mana.
Semua orang di desa kenal dengan
lelaki tua yang sering ‘uring-uringan’ sendiri ini tanpa tahu sebabnya.
Orang-orang tak menggubris ocehannya karena menurut mereka tak commonsense. Masyarakat hanya mengenalnya sebagai laki-laki senja tak waras dengan pakaian tak karuan. Ada dan tidak adanya sama saja, wujuduhu ka ‘adamihi, kosong. Bahkan sebagian mengharapkan ketidak hadirannya karena hanya mengganggu.
Satu jam lagi acaranya mulai, tamu berduyun-duyun datang dari
berbagai daerah maupun kalangan, tapi kebanyakan dari kaum aristokrat,
lengkap dengan kemewahan turangga-nya. Para penerima tamu
berjejer-jejer menyambut para undangan. Musik pun diledakkan guna
menyokong kemeriahan acara ini, suasana terasa gegap gempita.
Tapi, dia, laki-laki tua itu masih terus melafalkan
cacian-caciannya, “Acara apa ini... Pestanya orang-orang bodoh kok
disambut seperti kedatangan Nabi saja. Edan kabeh!”.
“Mbah, sudah Mbah, acaranya segera dimulai, ini acara diskusi Mbah,
diskusinya para sarjana, orang-orang pinter Mbah, bukan orang-orang
sembarangan, apalagi bodoh. Dan kami menyelenggarakan acara ini karena
kami butuh jawabannya Mbah. Supaya kami dapat berkah dari ilmu mereka,
jadi saya mohon sudahi cacian-caciannya ya Mbah….” bujuk salah satu
panitia acara untuk meredam laki-laki tua ini.
“Aaaah...kamu nggak tahu, kamu nggak ngerti. Tak ada berkah dalam acara ini!” Nadanya kesal tapi seolah dia memahami sesuatu yang tak dipahami orang lain, waskito, weruh sak durunge winarah.
Kemudian dia pergi begitu saja, menuju serambi musholla, menyendiri. Dia kelihatan tak betah srawung diantara orang-orang yang menurut dia kurang peka, kurang tanggap ing sasmito.
Saya yang dari tadi hanya duduk dibelakang sound dan mengamati
tingkah-laku si Mbah ini, akhirnya punya niat untuk mengajaknya ngobrol,
iseng-iseng hanya sekadar ingin tahu kenapa dia ngomel-ngomel terus.
Menguak ocehannya. Karena, jujur saja saya merasa ada muatan dibalik
luapan rasa jengkelnya itu. Tapi, sebelum saya melangkahkan kaki untuk
duduk disampingnya sembari ngobrol, saya sempatkan membeli dua bungkus
kopi, karena dalam tradisi kami, jika ngobrol tanpa ditemani kopi,
rasanya kurang renyah.
Setelah
saya memegang dua bungkus kopi dan sebungkus rokok, langsung saja saya
menuju serambi musholla, tempat si Mbah duduk.
“Assalamu’alaikum Mbah”
“Wa’alaikumussalam Nak” Jawabnya dengan nada kalem. Saya sempat
kaget, karena mendengar nadanya yang tiba-tiba berubah setelah
uring-uringan.
“Saya boleh duduk disini Mbah?” tanyaku pelan.
“Ooh...boleh. Silakan Nak”
“Ini saya kebetulan membawa dua bungkus kopi Mbah, satu buat Mbah.
Dan ini ada juga sebungkus rokok” kataku kepada si Mbah untuk
melengkapi syarat-rukunnya sopan santun kepada yang lebih tua.
“Oh... iya Nak, terimakasih. Sebenarnya aku tahu kalau dari tadi
kamu mengamatiku, aku juga tahu kalau kopi ini bukan kebetulan, tapi
sengaja kamu beli untuk ngobrol denganku kan? Tapi nggak apa-apa. Terimakasih Nak, aku do’a kan kamu”
Mendengar jawaban seperti ini, kagetku bukan kepalang. Dia tahu
apa yang saya niatkan sejak awal. Tapi kekagetan itu segera saya
sembunyikan dalam diamku, seolah biasa saja, tak terjadi suatu yang
aneh.
Setelah kopinya masing-masing saya
tuangkan di gelas dan rokoknya saya buka, saya hanya diam saja,
pura-pura memberikan apresiasi atau sekadar peduli kecil-kecilan
terhadap acara yang tengah berlangsung. Padahal saya hanya menunggu si
Mbah mengambil dan mulai menikmati suguhan sederhanaku. Agar lebih
hangat suasana ngobrolnya nanti. Saya juga tak mau nyruput kopi
duluan sebelum Mbah ini, juga tak mau mengawali menikmati rokoknya
sebelum si Mbah. Prinsip yang diajarkan oleh orang tua saya.
Begitu saya lihat si Mbah ini mengepulkan asap rokoknya, saya pun
lantas mengambil sebatang. Kira-kira usai dua atau tiga kepulan asap,
saya memberanikan diri untuk mulai bertanya kepadanya.
“Maaf Mbah, kalau boleh saya tahu, kenapa Panjenengan tadi marah-marah?” tanyaku sedikit gugup.
“Oh tadi, tadi itu aku nggak
memarahi siapa-siapa Nak, tadi itu aku hanya jengkel akan ketidak
tahuan mereka, kekurang pekaan mereka, kemiskinan daya resap mereka, itu
saja, nggak lebih”
“Oh begitu ya Mbah, nggih nggih. Lalu apa maksud Mbah kalau mereka itu orang-orang bodoh atau tak ada berkah dalam acara ini? Saya bingung Mbah”
Setelah menikmati kopi dengan seruputan ringan, Beliau langsung merespon dan menanggapi pertanyaan saya.
“Begini lho Nak, kamu lihat sekarang... lihat mereka... mereka
saling menyalahkan pendapat yang lain kan? Saling mematahkan kan? Saling
mengolok-olok, saling mengejek, saling menyesatkan, bahkan sampai ada
yang mengkafirkan pendapat yang lain yang menurutnya kurang
senada-seirama dengan pendapatnya. Itu yang saya maksud bodoh”
“Tapi Mbah, bukankah memang seperti itu mekanismenya diskusi?” saya kembali bertanya.
“Lho... bukan. Nggak seperti itu. Itu namanya sarkasme. Itu saling bacok. Dan itu bukan watak penyelesaian masalah. Melainkan
menanam masalah. Mereka saling cabik lawan debatnya. Mencemooh didepan
umum. Mencerca di atas panggung. Padahal sekarang ini orang-orang kan
kiblatnya kesitu. Kiblat kok kumpulan pelawak. Mendingan aku tadi,
ngomelnya dibelakang panggung. Biarlah mereka menganggapku gila, tidak
ada masalah bagiku. Karena yang terpenting bagiku adalah Gusti kang tan kinoyo ngopo tidak marah kepadaku”
“Lha menurut Panjenengan, diskusi yang baik itu yang bagaimana Mbah?”
“Ya diskusi yang memenuhi syaratnya, karena diskusi itu juga ada regulasinya sendiri, nggak seperti pelawak-pelawak ngawur itu, bukan seperti itu”
Sesekali dia menikmati rokoknya disela-sela bicaranya, lalu dia melanjutkan pituturnya lagi,
“Nak, dengarkan baik-baik. Adalah sebuah keniscayaan jika ditengah
diskusi itu ada perbedaan pendapat, itu wajar dan lumrah. Tapi
menyikapinya dengan baik masalah khilafiyah-khilafiyah itu juga wajib dimengerti dan di ejawantahkan dimeja diskusi. Jadi harus ada semacam kontrak sosial supaya nggak ada yang namanya sikut-sikutan.
Aku tadi baru saja diberitahu oleh Syaikh Ibrahim ibn Isma’il, kalau
dalam diskusi itu paling tidak ada tiga komponen yang mesti
terselenggara. Yang pertama adalah Mudzakarah, saling
mengingatkan dalam hal kebaikan bersama. Artinya, saling sepakat mencari
solusi demi kemashlahatan publik. Komponen yang kedua adalah Munadzarah,
fase ini artinya saling mengutarakan argumentasi, statement, teori,
tesis, atau apalah yang sebangsanya. Dan yang ketiga adalah Mutharahah,
ini step diskusi, yaitu membahas masalah dan membicarakannya secara
sehat, mengambil kesimpulan bersama-sama. Sadar kebersamaan inilah yang
sering dinegasikan atau dinafikan oleh pelawak-pelawak lucu itu. Kita
bukan sekadar masyarakat musyawarah Nak, tapi konsensus. Kita tak
sekadar diskusi, tapi kompromi. Tapi kalau yang terjadi adalah saling
mendewa-dewakan pendapatnya, saling mengkultuskan teorinya, saling
meng-absolutkan tesisnya, itu namanya badut gemblung. Jadi, kalau
kamu mengabaikan atau bahkan meremehkan sikap-sikap baik yang telah
dicontohkan, maka, ketika itu juga kamu menjadi orang bodoh, pun juga
sebaliknya”
“Mereka jauh dari teladan para ‘Alim dahulu dalam memandang dan menyikapi khilafiyah,
mereka tak bisa meraih sikapnya, tak mampu mencerap wanginya. Barusan
aku juga dibisiki Imam al Syafi’i begini; “Pendapatku benar, tapi
memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah,
tapi memiliki kemungkinan untuk benar”. Jangan kamu lupakan ini, jangan.
Ahmad ibn Hanbal itu beda pandangan dengan gurunya sendiri, As-Syafi’i, tapi selama 40 tahun beliau tak pernah lupa mendo’akan gurunya”
“Eh Mbah, sebentar, saya mau menanyakan kata Mbah tadi, tadi memang Panjenengan benar-benar dibisiki Beliau Syaikh Ibrahim ibn Isma’il dan juga Beliau Imam al Syafi’i ya Mbah?” tanyaku keheranan.
“ha ha ha ... Nak Nak, kamu itu mesti belajar lebih tekun lagi.
Begini lho, jangan sampai kamu punya anggapan bahwa beliau-beliau sudah
mati. Beliau semua masih hidup, yang mati itu hanya badannya saja,
jasadnya saja, fisiknya saja. Jadi kalau aku teringat dhawuh-dhawuh-nya beliau, serasa beliau ada disampingku” Jawabnya agak terkekeh kecil.
“Nggih Mbah, terimakasih atas ilmunya ya Mbah. Oh iya Mbah,
Acaranya sudah hampir di akhiri, saya pamit dulu ya Mbah” Ucapku
sekaligus ingin berpamitan pulang dan mengakhiri dialog ini.
Tapi sebelum kuangkat badanku, tiba-tiba dia menahanku sambil
menepuk-nepuk pundakku dan berkata, “Nak, coba kamu buktikan ocehan Mbah
tadi, nanti kamu amati siapa yang dimenangkan dipanggung lawakan itu,
kemudian setelah mereka beranjak pulang, kamu dengarkan kata-katanya
dibelakang, itu saja pesan dari Mbahmu ini”
Kuanggukkan kepalaku tanda mengiyakan pesan dari beliau, dan setelah
itu saya beranjak pergi. Tapi pesan beliau benar-benar saya laksanakan
dengan baik. Saya amati dan saya dekati mereka yang dianggap Mbah ini
sebagai pelawak-pelawak ngawur itu. Setelah mereka masuk mobil,
tiba-tiba saya mendengarkan gelak tawa luar biasa dari dalam mobil,
kupasang kupingku baik-baik, dan saya mendengarkan kata-kata cercaan,
cemoohan, olokan, dan menertawakan kobodohan lawan-lawannya dipanggung.
Mereka terlihat kejang-kejang kegirangan atas tumbangnya musuh-musuhnya
dimeja debat tadi.
Kemudian, saya tinggalkan begitu saja.
**********
_____________________
Penulis adalah orang yang semu gila, atau bahkan sudah
benar-benar tidak waras, tak tahu aturan. Jadi mohon maaf jika
tulisannya agak ngelantur. Penulis hanya yakin meski dipuncak kegilaan-kegilaan penulis, masih ‘ada’ yang menawarkan kewarasan untuk penulis.
Dan semoga kengelanturan
penulis ini ada manfaatnya, kalau manfaat pun tak ada, mungkin bisa
dijadikan sekadar hiburan. Jika manfaat tak ada, hiburan pun juga tidak,
maka anggap saja sebagai kentut, buang dan abaikan. Tapi, setidaknya ada manfaatnya buat penulis ngawur ini.
Kediri, 29 Desember 2013. [01.26 AM]
Responses
0 Respones to " KONFERENSI “PELAWAK”, DISKUSI DAGELAN"
Post a Comment