MODEL [gila] si BEGOG MENGEJA HURUF-HURUF KEHIDUPAN
______________________________
Sore itu aku dibuat kewirangan, tak lain dan tak bukan karena ulah si Begog.
Kisah ini berawal ketika kami hendak menghadiri acara pernikahan sepupunya, di daerah Campur Darat, Tulungagung. Saat itu cuaca memang kurang bersahabat, gerimis, tapi yang lebih menguji perjalanan kami adalah kehabisan bensin ditengah jalan, dan untuk bisa sampai pom bensin kami terpaksa menuntun sepeda motor tua itu sekitar 15 menitan. Ketika sampai di pom bensin, seperti lumrahnya, si karyawan menanyakan mau isi bensin berapa.
“Selamat sore Mas, mau di isi berapa?” tanya si karyawan dengan nada ramah.
“Full-tank Mas” jawabku.
“Mulai dari nol ya Mas” timpal si karyawan sambil menunjuk kearah penghitung nominal harga.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanda mengiyakan. Usai mengisi, aku lihat alat penghitung harganya menunjukkan angka 18.750, kemudian si karyawan mengucap pelan, “Sembilan belas ribu Mas”.
Segera ku rogoh saku celanaku, dan kuberikan Sembilan belas ribu kepada si karyawan itu, pas, tak kurang tak lebih. Namun tiba-tiba Begog berkata sewot, “Lho Mas, itu kan angkanya bukan 19.000, tapi 18.750, kenapa bayarnya sembilan belas ribu? Jangan korupsi dong Mas!”.
Mendengar kata-kata Begog, sontak aku shock campur malu, tapi keburu dijawab si karyawan, “Maaf ya Mas, kami tak punya kembalian 250 perak”, tanpa basa-basi aku pun langsung menyahut, “Maaf Mas, maaf banget, ini kawan saya sedang kambuh gilanya”.
Secepat kilat kutarik tangan Begog dan segera meninggalkan pom tersebut. Disepanjang jalan kudengar dia ngomel-ngomel tak karuan, hingga tiba di pesta meriah itu pun kicauannya tak juga kunjung reda.
Tiba-tiba Begog memarahiku, “Kamu ini bodoh apa dungu sih? Menyaksikan ketidak-jujuran seperti itu kok diam saja”
“Hoalah Gog Gog, lhawong dua ratus lima puluh perak saja kok diributin, ngisin-ngisini kamu ini!” jawabku kesal.
“Bukan itu masalahnya”
“Lalu apa?”
“Masalahnya adalah ketika diawal dia mengucapkan ‘dimulai dari nol’, itu yang membuatku tidak terima. Mbok ya nggak usah dipakai kata-kata itu. Kalau seperti itu kan nggak ada bedanya dengan dimulai dari angka 250, toh sama-sama sembilan belas ribu bayarnya. Kalau nggak mampu mengembalikan uang kembalian, meski nominalnya remeh, buang saja kata-kata itu!”, dia melanjutkan, “itu namanya merekayasa sesuatu biar seolah tampak kebaikan dan bentuk keramah-tamahan. Kelihatannya baik didepan, tapi kenyataannya nggak baik dibelakang. Manis di awal, namun pahit di akhir. Jangan biasakan hidup seperti itu! Jangan!. Jika memang diawal baik, usahakan untuk meng-istiqamah-kannya sampai tuntas.”Laa khaira fi khairin laa yadum, bal sharrun laa yadum khairun min khairin laa yadum”, begitulah al Ghazaliy mengatakan”, “Tidak ada masalah buatku jika dia mengucap maaf sebelumnya dengan berkata, misalnya—delapan belas ribu tujuh ratus lima puluh, kalau ada uang pas, kalau tidak ada kami mohon maaf, kami tak punya kembalian uang receh, jadi terpaksa kami bulatkan 19.000—tapi kan tidak begitu? Dia langsung saja membulatkan angkanya. Iya to? Dan sangat disayangkan bahwa pemandangan seperti itu sudah mengakar kuat di masyarakat kita. Ini bukan sekadar 250 perak, tapi bagaimana cara kita hidup, kita pilih model yang seperti apa dan bagaimana”
Selesai mendengarkan luapan emosinya, aku langsung nyelonong pergi, tak kuindahkan kengelanturannya, kuabaikan. Karena aku paham betul sifatnya.
Meski begitu, alasan saya tetap betah berkawan dengannya adalah karena dia tipikal orang yang jujur, apa adanya—jika dia anjing ya anjing, tidak lantas repot-repot mencuri muka domba guna menutupi sifat keanjingannya—‘blak kotang’, begitu orang jawa biasa mengistilahkan. Serta pribadi yang tak takut mengutarakan keberatan-keberatannya (untungnya dia nggak hidup di Orde Lama). Rasa malu atau bahkan takut dianggap orang lain gila sudah lenyap dari otaknya. Dan minimal dia bukanlah sosok hipokrit terhadap segala bentuk peristiwa disekelilingnya. Dia tlaten mengeja huruf-huruf kehidupan. Dan itu alasan yang masuk akal, bagiku.
*********
Kediri, 27 Januari 2014. [03.00 dini hari]. KoKo
Sore itu aku dibuat kewirangan, tak lain dan tak bukan karena ulah si Begog.
Kisah ini berawal ketika kami hendak menghadiri acara pernikahan sepupunya, di daerah Campur Darat, Tulungagung. Saat itu cuaca memang kurang bersahabat, gerimis, tapi yang lebih menguji perjalanan kami adalah kehabisan bensin ditengah jalan, dan untuk bisa sampai pom bensin kami terpaksa menuntun sepeda motor tua itu sekitar 15 menitan. Ketika sampai di pom bensin, seperti lumrahnya, si karyawan menanyakan mau isi bensin berapa.
“Selamat sore Mas, mau di isi berapa?” tanya si karyawan dengan nada ramah.
“Full-tank Mas” jawabku.
“Mulai dari nol ya Mas” timpal si karyawan sambil menunjuk kearah penghitung nominal harga.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk tanda mengiyakan. Usai mengisi, aku lihat alat penghitung harganya menunjukkan angka 18.750, kemudian si karyawan mengucap pelan, “Sembilan belas ribu Mas”.
Segera ku rogoh saku celanaku, dan kuberikan Sembilan belas ribu kepada si karyawan itu, pas, tak kurang tak lebih. Namun tiba-tiba Begog berkata sewot, “Lho Mas, itu kan angkanya bukan 19.000, tapi 18.750, kenapa bayarnya sembilan belas ribu? Jangan korupsi dong Mas!”.
Mendengar kata-kata Begog, sontak aku shock campur malu, tapi keburu dijawab si karyawan, “Maaf ya Mas, kami tak punya kembalian 250 perak”, tanpa basa-basi aku pun langsung menyahut, “Maaf Mas, maaf banget, ini kawan saya sedang kambuh gilanya”.
Secepat kilat kutarik tangan Begog dan segera meninggalkan pom tersebut. Disepanjang jalan kudengar dia ngomel-ngomel tak karuan, hingga tiba di pesta meriah itu pun kicauannya tak juga kunjung reda.
Tiba-tiba Begog memarahiku, “Kamu ini bodoh apa dungu sih? Menyaksikan ketidak-jujuran seperti itu kok diam saja”
“Hoalah Gog Gog, lhawong dua ratus lima puluh perak saja kok diributin, ngisin-ngisini kamu ini!” jawabku kesal.
“Bukan itu masalahnya”
“Lalu apa?”
“Masalahnya adalah ketika diawal dia mengucapkan ‘dimulai dari nol’, itu yang membuatku tidak terima. Mbok ya nggak usah dipakai kata-kata itu. Kalau seperti itu kan nggak ada bedanya dengan dimulai dari angka 250, toh sama-sama sembilan belas ribu bayarnya. Kalau nggak mampu mengembalikan uang kembalian, meski nominalnya remeh, buang saja kata-kata itu!”, dia melanjutkan, “itu namanya merekayasa sesuatu biar seolah tampak kebaikan dan bentuk keramah-tamahan. Kelihatannya baik didepan, tapi kenyataannya nggak baik dibelakang. Manis di awal, namun pahit di akhir. Jangan biasakan hidup seperti itu! Jangan!. Jika memang diawal baik, usahakan untuk meng-istiqamah-kannya sampai tuntas.”Laa khaira fi khairin laa yadum, bal sharrun laa yadum khairun min khairin laa yadum”, begitulah al Ghazaliy mengatakan”, “Tidak ada masalah buatku jika dia mengucap maaf sebelumnya dengan berkata, misalnya—delapan belas ribu tujuh ratus lima puluh, kalau ada uang pas, kalau tidak ada kami mohon maaf, kami tak punya kembalian uang receh, jadi terpaksa kami bulatkan 19.000—tapi kan tidak begitu? Dia langsung saja membulatkan angkanya. Iya to? Dan sangat disayangkan bahwa pemandangan seperti itu sudah mengakar kuat di masyarakat kita. Ini bukan sekadar 250 perak, tapi bagaimana cara kita hidup, kita pilih model yang seperti apa dan bagaimana”
Selesai mendengarkan luapan emosinya, aku langsung nyelonong pergi, tak kuindahkan kengelanturannya, kuabaikan. Karena aku paham betul sifatnya.
Meski begitu, alasan saya tetap betah berkawan dengannya adalah karena dia tipikal orang yang jujur, apa adanya—jika dia anjing ya anjing, tidak lantas repot-repot mencuri muka domba guna menutupi sifat keanjingannya—‘blak kotang’, begitu orang jawa biasa mengistilahkan. Serta pribadi yang tak takut mengutarakan keberatan-keberatannya (untungnya dia nggak hidup di Orde Lama). Rasa malu atau bahkan takut dianggap orang lain gila sudah lenyap dari otaknya. Dan minimal dia bukanlah sosok hipokrit terhadap segala bentuk peristiwa disekelilingnya. Dia tlaten mengeja huruf-huruf kehidupan. Dan itu alasan yang masuk akal, bagiku.
*********
Kediri, 27 Januari 2014. [03.00 dini hari]. KoKo
Responses
0 Respones to "MODEL [gila] si BEGOG MENGEJA HURUF-HURUF KEHIDUPAN"
Post a Comment