Dua polan yang semenjak kecil bermain bersama, Jabar dan Tono. Mulai dari hal mbambong
sampai masalah pendidikan, semua hampir sama. Hingga akhirnya tiba di
stasiun Perguruan Tinggi, mereka berpisah di persimpangan jalan. Mereka
berdua mulai menampakkan cara mengambil keputusan dengan seninya
masing-masing.
Sebenarnya, hal tersebut wajar-wajar saja, sebab mereka tetaplah anak manusia, meski lama digodok dalam wadah yang sama, cepat maupun lambat, mereka tetap akan menunjukkan keragaman kreativitas yang terkandung dalam pribadi mereka masing-masing. Yang satu ke utara, lainnya ke selatan. Satunya linear, lainnya sirkular atau siklikal. Satunya bicara, lainnya diam. Itulah, potret sederhana mereka berdua.
Jabar, yang memang terlahir dari kaum berpunya, menggebu ingin melanjutkan studinya ke luar negeri. Keinginan pun segera terlaksana, tak jadi apa jika disandingkan dengan ke-darah biru-annya. Sedangkan Tono, polos wajah anak petaninya tak mengisyaratkan air muka laiknya Jabar, dia lugu namun juga masih berkemauan kuat. Krenteg ngangsu kaweruh yang tak semua orang miliki.
Tono sangat memahami posisinya, dia sangat menerima dan tak sedikitpun membayangkan merebut dan menduduki ‘kursi’-nya Jabar. Dia menyalurkan semangat belajarnya dengan cara mencari sebuah Perguruan Tinggi di kota terdekat, yang mampu dijangkau dari kampung mungilnya. Dia tahu harus selalu membantu orang tuanya. Dia mengerti tak bisa jauh dari mereka.
Riuh rendah para civitas akademika ditempat Jabar sama sekali tak terdapat di lingkungan Tono. Gema nada perdebatan di universitas Jabar, barangkali akan menjadi hal asing jika tiba-tiba diboyong ke kampus tempat Tono belajar. Segala perlengkapan alat-alat penelitian, beribu referensi, ada disana, nyampar-nyandung istilahnya. Lain halnya dengan Tono, yang sekadar mengongkosi ketertinggalan wasaa-il al idhoh-nya dengan percikan demi percikan semangatnya. Tono hanya bisa berimprovisasi akan keadaannya.
Tahun demi tahun mampu dikunyah keduanya, sama-sama demi mengusir sifat ketidaktahuan. Hingga tiba saatnya mereka berdua haruslah pulang ditanah dimana mereka dilahirkan. Jabar, lulusan universitas elite, yang isi kepalanya seharga dengan isi kepala pakar politik terkenal, disambut dengan meriah oleh seisi kampung. Begitu juga dengan Tono, diiringi berjuta tepuk tangan manakala dia mengenakan pakaian sarjananya, dia, Tono, merupakan sarjana hukum dari kampus sederhana.
Dua sarjana muda mulai melukis wajah kampungnya. Dan maklumlah, jika penampilan si Jabar kini terlihat lebih waah, sebab dia merupakan produk dari lintas budaya dan peradaban, terlihat rapi dan necis. Sedangkan Tono tetaplah anak petani sederhana, dia tetap anak kampung yang tak begitu mengerti mode, namun harga kepalanya tak bisa dianggap sepele, berbandrol tinggi.
Hari terus berlanjut, semakin kuatlah penduduk kampung mengiblat pada mereka berdua. Jabar dan Tono senantiasa memberi pandangan-pandangan baru bagi kiri-kanannya. Tapi, kejanggalan mulai tampak dimata Tono, dia melihat cara Jabar memberi asupan kepada warga kampung yang dinilai kurang pas, sebab Jabar terlalu enteng menabur pengetahuan-pengetahuan yang semestinya tidak atau belum saatnya disampaikan.
Jabar dinilai terlalu ngawur, kurang memperhatikan tempat/ wadah dan kurang mengerti takarannya. Semua usia, baik anak kecil, remaja, hingga orang tua, oleh Jabar di-cekok’i ilmu politik praktis. Dan yang terjadi adalah reaksi orang kampung yang ndomblong, tak paham sedikitpun. Berbeda dengan gaya Tono, dia selami betul kapasitas si penerima informasi, dia tahu tak boleh membabi buta jika menyangkut soal beginian.
Tono paham kapan dia mesti melaju dan kapan dia harus berhenti, bagaimana sikap pendidik dan bagaimana mengenali kualitas si terdidik. Sebuah pandangan yang sama sekali berseberangan dengan Jabar. Seorang filsuf kondang, Immanuel Kant, pernah mengatakan tentang komponen-komponen filsafat, yakni, apa yang bisa kita ketahui? Dijawab oleh metafisika. Apa yang boleh kita kerjakan? Dijawab oleh etika. Apa yang bisa kita harapkan? Dijawab oleh agama. Dan apa manusia itu? Dijawab oleh antropology.
Barangkali, model pemikiran Tono ini, sedikit memperoleh intervensi dari Kant tersebut, sehingga ia benar-benar memperhatikan batas-batas yang memang tak boleh diterjang, meneliti wadah-wadah yang tak seharusnya dipaksakan. Sekarang, yang menjadi persoalan adalah sikap si Jabar yang seolah-olah ingin menguasai sekitarnya, bukannya memimpin.
“... memimpin, Nak. Bukan menguasai!” begitu beliau berpesan, “memimpin itu bisa jadi bersifat antagonistik terhadap menguasai. Menguasai itu kemenangan egoistik, sedangkan memimpin adalah hikmah...”.
Sikap Jabar adalah sikap orang ‘Alim atau pandai, tak peduli bagaimana dia mengolah ilmunya, apakah dengan cara men-generalisasikan seperti diatas, yang penting menyampaikan, tak pandang usia dan tak hiraukan wadah. Pokoknya pintar, itulah si ‘Alim. Sangat berbeda dengan si ‘Arif, satu level lebih tinggi daripada si ‘Alim, dia pandai namun tak sembrono. “Khatibu al nasa biqadri ‘uqulihim”, berbicaralah kepada manusia sesuai kadar akalnya.
*************
[ Pas nulis iki sirahku ngelu banget, sepurane nek akeh kekurangane :) ]
Kediri, 09 Maret 2014.
Responses
1 Respones to "Yang ‘Alim siapa, siapa yang ‘Arif..."
diobati mas kalau ngelu, hehe
12 April 2014 at 05:20
Post a Comment