“Woooee….!!!”
Sontak aku kaget mendengar teriakan yang tak lain dari mulut Begog, sebab posisiku tak jauh dari tempat duduknya. Tapi aku memakluminya, karena itu adalah Begog.
“Cepat sini! Aku kasih informasi penting! Cepat!”
“Iya iya… Seberapa penting sih? Pakek teriak-teriak segala” tanyaku kesal.
“Wes tho ah, enggak usah banyak cingcong, cepat kesini dan dengarkan saja!”
Dari dulu, aku tahu betul sifatnya, jika kemauannya sampai tak diladeni, pasti uring-uringan dia. Terpaksa aku mendekat dan duduk disampingnya sembari memasang telinga baik-baik laiknya ibu-ibu yang sedang mendengarkan acara ceramah di tv-tv itu. Tapi sebenarnya aku hanya pura-pura khusyuk agar dia enggak gila tiba-tiba.
“Begini Cung, aku tadi baru saja dapat ilmu anyar dari Sabrang. Katanya, kita itu menyebut musik sebagai seni karena kita menikmatinya, tapi musik tersebut merupakan sains bagi penciptanya. Juga frekuensi 2,8 KHz itu andai dinaikkan sebesar 3 desiBel akan menghasilkan suara yang terasa jujur dari dalam hati. Sama halnya dengan pelukis, pelukis itu juga kudu tahu detail seberapa komposisi warna catnya, seberapa proporsi minyaknya, dan apa bahan media lukisnya”
“Huuuuh….” usai menghela napas, ia meneruskan kata-katanya, “Kalau seni itu reseptornya rasa, maka sains reseptornya adalah otak. Ketika kita membaca al Qur’an, yang nomor satu kita gunakan adalah rasa. Tapi jangan lupa, kalau kita teliti satu demi satu, ada sains di baliknya”
Dan hanya itu yang Begog katakan. Tanpa kata-kata penutup. Lantas ia raih itu sepeda tua dan langsung nyelonong pergi begitu saja. Kira-kira jarak lima belas meter, kudengar dia tertawa terbahak-bahak dan meludah dimana-mana.
“Dasar gila! Manusia edan! Begog sinting!” kata batinku.
*********
Kediri, 8 Januari 2014
Label:
Artikel
Sontak aku kaget mendengar teriakan yang tak lain dari mulut Begog, sebab posisiku tak jauh dari tempat duduknya. Tapi aku memakluminya, karena itu adalah Begog.
“Cepat sini! Aku kasih informasi penting! Cepat!”
“Iya iya… Seberapa penting sih? Pakek teriak-teriak segala” tanyaku kesal.
“Wes tho ah, enggak usah banyak cingcong, cepat kesini dan dengarkan saja!”
Dari dulu, aku tahu betul sifatnya, jika kemauannya sampai tak diladeni, pasti uring-uringan dia. Terpaksa aku mendekat dan duduk disampingnya sembari memasang telinga baik-baik laiknya ibu-ibu yang sedang mendengarkan acara ceramah di tv-tv itu. Tapi sebenarnya aku hanya pura-pura khusyuk agar dia enggak gila tiba-tiba.
“Begini Cung, aku tadi baru saja dapat ilmu anyar dari Sabrang. Katanya, kita itu menyebut musik sebagai seni karena kita menikmatinya, tapi musik tersebut merupakan sains bagi penciptanya. Juga frekuensi 2,8 KHz itu andai dinaikkan sebesar 3 desiBel akan menghasilkan suara yang terasa jujur dari dalam hati. Sama halnya dengan pelukis, pelukis itu juga kudu tahu detail seberapa komposisi warna catnya, seberapa proporsi minyaknya, dan apa bahan media lukisnya”
“Huuuuh….” usai menghela napas, ia meneruskan kata-katanya, “Kalau seni itu reseptornya rasa, maka sains reseptornya adalah otak. Ketika kita membaca al Qur’an, yang nomor satu kita gunakan adalah rasa. Tapi jangan lupa, kalau kita teliti satu demi satu, ada sains di baliknya”
Dan hanya itu yang Begog katakan. Tanpa kata-kata penutup. Lantas ia raih itu sepeda tua dan langsung nyelonong pergi begitu saja. Kira-kira jarak lima belas meter, kudengar dia tertawa terbahak-bahak dan meludah dimana-mana.
“Dasar gila! Manusia edan! Begog sinting!” kata batinku.
*********
Kediri, 8 Januari 2014
Responses
0 Respones to "EDAN kah?"
Post a Comment