Serambi Seribu Serbi

space disewakan

Rasulullah Ummiy, So What?



Pernah suatu kali di mata kuliah PMDI (Pemikiran Modern Dunia Islam), Pak Abdul Malik Usman (dosen yang keren banget wawasan dan cara ngajarnya) menanyakan secara retoris satu pertanyaan kuno;


"Apakah Rasulullah buta huruf?"

Saya kira semua mahasiswa akan menjawab serempak, "Iya benar." Tetapi kelas justru hening. Ada aura kebingungan. Buta huruf atau tidak ya? Sayangnya beliau sendiri gak melanjutkan arah pertanyaan itu, hanya intermezo di sela-sela pembahasan tentang Teologi Pembebasan ala Asghar Ali Engineer;

Sejak itulah saya berpikir, pertanyaan ini memang sekilas nampak sederhana, namun susah juga. Apalagi bila diajukan pertanyaan-pertanyaan analisis yang tajam. Memang tema ini sangat sering diperbincangkan, hanya saja saya nggak mau menjawab secara asal-asalan. Harus ada hujjah yang bisa saya temukan. Calon 'pemongmong-bocah' (istilah yang diperkenalkan oleh Bapak saya yang bermakna; guru), mestinya akan menghadapi pertanyan yang sama, suatu saat.

Kemudian siangnya, kebetulan di perpustakaan kampus (Maktabah al-Jami'ah) saya menemukan satu buku bagus, hardcover merah, sangar. Judulnya ar-Raddus-Syafil-Wafir 'ala Man Nafa Ummiyyata Sayyidil Awa-ili wal Awakhir karya al-Ustadz Ahmad bin Hajar al-Buthami al-Bin 'Ali.

Intinya, kitab ini ingin menyatakan ke-ummiy-an (ke-tunahuruf-an) Rasulullah saw. tanpa menganggapnya sebagai kekurangan berdasarkan dalil-dalil naqli maupun aqli yang ada. Sebagai jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tajam yang diajukan oleh seorang Ustadz bergelar doktor, pengajar di Universitas Hyderabad India. Karena tidak disebutkan namanya, kita sebut dengan Ustadz Hindi saja untuk memudahkan.

Ustadz Hindi menyimpulkan bahwa Rasulullah saw. tidaklah buta huruf, melainkan beliau adalah orang yang terpelajar, pandai membaca dan menulis. Beliau mengemukakan setidaknya 11 poin alasan-alasan.

Nah, memang jawaban sederhana yang sering dikemukakan bagi pertanyaan ini adalah; "Itulah Mukjizat Rasulullah..". Namun jawaban tersebut sepertinya kurang memuaskan bila yang diajukan adalah pertanyaan-pertanyaan kritis  Ustadz Hindi ini;

1. Rasulullah tumbuh di lingkungan para pembesar, priyayi (al-Asyraf), maka tentulah beliau bisa membaca dan menulis sebagaimana anak-anak priyayi pada umumnya, kan?

2. Pada saat Shulhu-Hudaibiyah, disebutkan bahwa beliau menghapus gelar "Rasulillah (Utusan Allah)" yang dituliskan oleh 'Ali bin Abi Thalib, kemudian menggantinya (didasarkan pada redaksi hadits "Katabahu Badalan") dengan "Ibni Abdillah (Anak Abdullah)". Bagaimana bisa beliau mengoreksi dan mengganti jika beliau Ummiy?

3. Sama seperti kasus di atas, beliau juga pernah mengoreksi surat yang dituliskan oleh Mu'awiyah. Bagaimana bisa beliau mengoreksi dan mengganti jika beliau Ummiy?

4. Tafsir lafadz di dalam al-Quran tentang "Ummiy" bukan berarti "Buta Huruf", melainkan laqob bagi orang-orang yang tinggal di Ummul Quro. Ummul Quro adalah sebutan bagi Kota Makkah. Jadi, maksud Ummiy bukan buta huruf kan?

5. Yang dimaksud al-Quran bahwa beliau tidak membaca kitab (buku) adalah Kitab-kitab agama  Samawiy (Yahudi - Nasrani) terdahulu, semisal Injil maupun Taurat.. menekankan bahwa beliau memang benar-benar tidak terpengaruh ajaran Yahudi Nasrani saat itu, bukan berarti beliau buta huruf. Iya kan?

6. Dalam Ali 'Imron 184 disebutkan bahwa Allah ta'ala mengutus Rasulullah untuk membacakan Kitab-Nya, Wahyu, kepada umat mu'minin. Bagaimana bisa seseorang yang diutus untuk membacakan ayat, apalagi mengajarkannya, tetapi dia buta huruf?

7. Bagaimana mungkin Khadijah, seorang pedagang besar (eksportir), memercayakan dagangannya kepada seseorang yang Ummiy?

8. Kota Makkah bukanlah dusun kecil, melainkan kota besar yang berperadaban, merupakan kota lalu lalangnya perdagangan antar suku, antar negeri, internasional. Mana mungkin di kota yang semaju ini orang-orangnya buta huruf?

9. Sebagai pengasuh, Abu Thalib sangat mencintai Rasulullah selayaknya anaknya sendiri. Lalu bagaimana bisa, Abu Thalib tidak mengajarkan membaca atau menulis kepada Rasulullah, sedangkan Ali diajarinya?

10. Nabi Musa adalah orang yang terpelajar, maka bagaimana bisa Nabi Muhammad lebih utama (afdholu) dari Nabi Musa jika beliau Ummiy?

11. Disebutkan di dalam Mawaqitus Shalat karya al-Bukhari, bahwa Rasulullah memiliki madrasah, yakni as-Shuffah, di dalamnya diajarkan tentang ilmu, membaca dan menulis, Wahyu, sehingga lahirlah para dai dari madrasah beliau ini. Masing-masing lulusannya mulai diutus ke dusun-dusun untuk berdakwah, mengajar, masing-masing orang mengajar sepuluh orang. Bagaimana bisa beliau mengajar dan menjadi pendidik sesukses ini bila beliau Ummiy?

Nah, dari pertanyaan-pertanyaan ini, muncullah tanggapan dan jawaban-jawaban apik dari al-Muallif (penulis kitab; Ustadz Ahmad 'Ali), disertai dengan hujjah yang lugas dan jelas, baik aqli (rasio) maupun naqli (dalil tertulis, baik dari al-Quran, al-Hadits) maupun pandangan ulama salaf tentang hal ini.

Pertanyaan-pertanyyan di atas dicantumkan pada halaman 9 sampai 15, disertai sedikit komentar dari Muallif. Kemudian dari halaman 16 sampai 187 beliau menuliskan sejarah singkat kehidupan Rasulullah, terutama hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan aktivitas sosial beliau. Lalu pada halaman 188 sampai 241 Muallif menjawab satu persatu kemusykilan-kemusykilan Ustadz Hindi, dengan terperinci.

Muallif menyebut pertanyaan-pertanyaan dari Ustadz Hindi sebagai “Syubuhaat” atau kesamaran-kesamaran. Sebelum membedah semua kesamaran itu, Muallif menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan;

(1). Ke-Ummiy-an Rasulullah saw. merupakan mukjizat yang agung bagi beliau. Karena mukjizat inilah, banyak di antara kaum kafir Quraisy yang tidak percaya akan kerasulan beliau. Anggapan mereka, orang yang ummiy, mana mungkin menjadi utusan Tuhan? Karena mereka tahu betul bahwa Muhammad bukanlah orang yang bisa membaca (qiroah) ataupun menulis (kitabah). Dan hal ini muncul lagi di jaman modern, dengan model yang berbeda, yakni ketika para Orientalis melahirkan keragu-raguan yang sama, mana mungkin orang Ummiy menjadi Utusan Tuhan? Bedanya, mereka mencoba menafikan ke-ummiy-an beliau saw.

(2).Untuk menyimpulkan apakah beliau Ummiy dalam arti Buta Huruf (tidak bisa membaca dan menulis) atau tidak, maka kita harus bersandar pada dalil-dalil yang jelas, baik itu di dalam al-Quran, hadits-hadits shahih, hingga tafsir para pendahulu, salafusshalih, tentang maksud Ummiy.

(3).Ke-Ummiy-an beliau dengan makna tidak bisa membaca maupun menulis sudah masyhur dan diketahui Umat Islam secara umum dari generasi ke generasi. Keragu-raguan dan pertanyaan-pertanyaan samar baru muncul dari rahim segelintir Orientalis di akhir jaman dengan rasionalitas mereka.
Berikut ini jawaban-jawaban Muallif terhadap 11 kesamaran yang diungkapkan oleh Ustadz Hindi;

KESAMARAN PERTAMA;
“Adanya peradaban lingkungan yang berkaitan dengan kehidupan Nabi Muhammad dan mempengaruhi beliau. Peradaban Kota Mekah merupakan peradaban yang maju, berpendidikan. Rasulullah tumbuh di lingkungan ini, khususnya di lingkungan para pembesar, priyayi (al-Asyraf), maka tentulah beliau terdidik, bisa membaca dan menulis sebagaimana anak-anak priyayi pada umumnya.”

Jawaban:

(a).  Jika Rasulullah memang benar-benar bisa membaca dan menulis maka pasti akan ditemui setidaknya satu riwayat dari para Sahabat tentang hal ini. Tetapi buktinya tidak ada nukilan tentang hal itu, justru ke-ummiy-an beliau lah yang telah masyhur sejak dahulu kala.

(b). Baca-Tulis baru memasuki Kota Mekah beberapa saat sebelum munculnya Islam. Sedangkan di kota itu, orang-orang yang mempelajari Baca-Tulis bisa dihitung dengan jari, sebagian besar adalah para pembesar Sahabat di kemudian hari. Ada tujuh belas orang, yakni; Ali bin Abi Thalib, Umar bin Al-Khatthab, Thalhah bin Ubaidillah, Utsman bin Affan, Abban bin Sa’id bin al-‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan, Khathib bin ‘Amru bin ‘Abdi Syams, al-‘Ala bin al-Hadhrami, Abu Salamah bin Abdil Asad, Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah, Khuwaithib bin Abdil ‘Uzza, Abu Sufyan bin Harb, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Juhainah bin as-Shalt bin Makhraq, Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Khalid bin Sa’id bin al-Ash, Abu Khudzaifah bin Utbah.

(c). Seharusnya Ustadz Hindi menyebutkan setidaknya satu madrasah atau tempat pendidikan, atau setidaknya nama sosok pendidik yang dimaksud.

(d). Ketika Rasulullah mendapatkan wahyu pertama melalui Malaikat Jibril, serta dipersilakan membaca, “Iqro’”, beliau menjawab “Maa Ana bi Qoori-in” (aku bukanlah seorang yang bisa membaca, atau, aku tidak bisa membaca). Rasulullah sendirilah yang menafikan bahwa beliau bisa membaca. Tentu, jika orang yang tidak bisa membaca, dalam keadaan yang begitu mencekam, kemudian disuruh membaca, maka tentulah jawabannya jujur seperti jawaban Rasulullah; “Aku tidak bisa membaca.”

Lagipula, jika beliau adalah seorang yang bisa Baca-Tulis, kemudian mendapatkan Wahyu berupa al-Quran, lalu menyampaikannya di tengah umat, akan muncul kecurigaan yang besar di kemudian hari, bahwa beliau telah membaca kitab-kitab terdahulu karena banyaknya kesamaan kabar dari al-Quran dengan kitab-kitab terdahulu.

(e). Ada 6 ayat al-Quran yang menyebutkan lafadz UMMIY, salah satunya, Allah menyifati Rasulullah dengan Ummiy, sebagaimana tersurat di dalam Al-A’raf ayat 156-157:
Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia Ini dan di akhirat; Sesungguhnya kami kembali (bertaubat) kepada Engkau. Allah berfirman: "Siksa-Ku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami..  [156]

..(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang UMMIY yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung. [157]”

Di dalam kitab ini, Muallif mengutip makna Ummiy dari kamus-kamus Bahasa Arab; sepertial-Muhith, Lisanul’Arab, Al-Munjid, Mu’jam Matnul Lughoh, Al-Mu’jam Al-Wasith, Al-Qamus Al-Islamiy. Muallif juga mengemukakan makna Ummiy dari perspektif historis peradaban dan kebudayaan Arab saat itu, dinukil dari buku Al-Adabul ‘Arobiy wa Tarikhihi, Fajrul islam, Tarikh Adabu Lughotil ‘Arobiyyah.

Tak kalah pentingMuallif juga menukil secara lengkap pandangan dan penafsiran para ulama salaf tentang makna lafadz Ummiy. Seperti pandangan Ibnu Jarir, pandangan Ibnu Abbas, pandangan Qatadah, Abu Ja’far, al-‘Allamah Ibnu Katsir, al-‘Allamah al-Qurthubiy, al-Alusi dalam Ruhul Ma’ani; al-‘Allamah al-Fakhrur Razi, al-Maraghi, maupun as-Suyuthi.

Semua penukilan beliau bergagasan seragam, bahwa Rasulullah saw. tidak bisa Baca-Tulis, ummiy.

Diterangkan bahwa orang-orang Yahudi maupun Nasrani mendapati nama Rasulullah tertulis di dalam kitab-kitab mereka dengan sifat ummiyyah. Sifat ummiyyah yang dimaksud tentulah ummiyyah yang berlaku di dalam bahasa kalangan Arab waktu itu, yakni tidak bisa Baca-Tulis. Dan pada umumnya tanda-tanda kenabian yang tercantum di dalam kitab terdahulu adalah tanda-tanda yang jelas dan tidak perlu ditafsiri lagi dengan macam-macam penafsiran, termasuk Sifat Ummiyah, sudah jelas maknanya.

Jika memang Rasulullah tidak Ummiy, bisa membaca dan menulis, tentu keadaan ini lantas tidak berkesesuaian dengan kabar yang sudah tertulis di dalam kitab-kitab Samawi terdahulu. Tidak mungkin Rasulullah mengaku-ngaku Ummiy padahal beliau bisa Baca-Tulis, karena beliau Jujur, ma’shum dari kebohongan. Jadi, ke-ummiy-an Rasulullah saw. merupakan salah satu tanda kenabian beliau.

Di dalam buku ini, Muallif juga mengutip pendapat para pemuka dan ilmuan Kristen (Masihiyyun) kontemporer  yang mengakui bahwa Nabi Muhammad saw. merupakan tokoh besar yang ummiy, tidak bisa Baca-Tulis. Seperti Petrus Smith dalam bukunya Hayatu Muhammad, Alkount Henry De Castre dalam Al-Islam, Dirmingham dari Perancis, filosof Inggris Thomas Carlyle dalam al-Abthal (Pahlawan-pahlawan), Sydoe dalam Tarikhul ‘Arab, Labib ar-Rayyasyi dalam Nafsiyyatur Rasulil ‘Arabi, Karodivo seorang orientalis Perancis dalam Mufakkiril Islam, juga mengutip pernyataan Cyril, penganut Katolik, salah satu pengajar di Universitas Vienna, Serta mengutip syair Abdullah Yorke Khalaq yang salah satu baitnya berujar; “Aku seorang Kristen, dan mengagungkan Muhammad..”

(f)
Jika Rasulullah seorang Mutsaqqif (maksudnya; bisa Baca-Tulis), tentu akan ada keterangan tentang hal ini, baik dari para Shahabat ataupun musuh-musuh beliau. Nyatanya tidak ada. Malah yang ada justru pernyataan Rasulullah sendiri, terutama melalui ayat-ayat al-Quran, bahwa beliau Ummiy.

Jika beliau memang bisa Baca-Tulis, namun tidak ada Shahabat yang mengetahuinya, berarti beliau merahasiakan kemampuan ini sepanjang hidupnya. Padahal, seluruh sifat Rasulullah, juga kegiatan beliau, sudah diriwayatkan secara rinci hampir komplit oleh para Sahabat, sampai-sampai tentang aktivitas rumah tangga beliau, bagaimana beliau bergaul dengan istri-istrinya. Jika demikian, mana mungkin tidak ada riwayat bahwa Rasulullah bisa membaca dan menulis? Tapi nyatanya tidak ada. Justru sebaliknya, yang masyhur adalah bahwa beliau Ummiy.

Mahmud Taufiq Shidqi, dalam kitabnya, Ad-Diin fi Nadzril ‘Aqlis Shahih mengemukakan; “Jika Nabi Muhammad bisa Baca Tulis, maka akan kita temui tulisan beliau setidaknya satu.”

KESAMARAN KEDUA:
“Rasulullah menghapus tulisan Muhammadun Rasulullah dan menggantinya denganMuhammadun ibui ‘Abdillah di dalam Perjanjian Damai Hudaibiyah, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari.”

--- bersambung ---

::Krapyak, 9, 17  November 2011:: Zia
Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

0 Respones to "Rasulullah Ummiy, So What?"

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris