Serambi Seribu Serbi

space disewakan

Tahun Baru Bersama Mustofa Bisri



Di Awal tahun masehi ini, kita disuguhi dengan berbagai macam musibah besar, Seperti Jatuhnya pesawat lokal yang memakan banyak korban, apakah kita masih sempat merayakannya kepiluan ini, kalut mungkin bukan pilihan kata yang tepat, sebaiknya daripada diterusin malah kagak nyambung yuk kita sruput aja karyanya Gus Mus. Sebagi seorang sastrawan, tak henti- hentinya simbah kakung kita terus berkarya, mari dinikmati karya beliau dibawah ini dengan indahnya berbagi.


// dari hari ke hari/bunuh diri pelan pelan/ dari tahun ke tahun/ 
bertimbun luka di badan/ maut menabungKu segobang segobang

(“Hemat” Sutardji Calzoum Bachri) // 



Saya tak pernah betul-betul memahami, mengapa orang –khususnya di kota-kota--selalu menyambut Tahun Baru dengan suka ria. Pesta-pesta dan hura-hura untuk memeriahkan pergantian tahun dilangsungkan dimana-mana bahkan sering kali dengan menghamburkan uang yang tidak sedikit. Apakah itu sekedar mengikuti tradisi yang sudah berjalan atau merupakan naluri dari kesenangan manusia terhadap sesuatu yang baru. Senang Tahun Baru seperti senang kepada baju atau sepatu baru, atau naluri senang kepada peningkatan dan pertambahan. Tahun kita kemarin hanya 2003, kini menjadi 2004; ada pertambahan dan peningkatan satu angka. Atau ada kaitannya dengan rasa tafa-ul seperti orang menyambut menyingsingnya matahari yang menjanjikan pagi yang cerah setelah gelap malam? 





Padahal bukankah tahun baru justru berarti pengurangan terhadap umur kita? Apakah kita tidak menyadari hal ini? Ataukah kita memang bergembira setiap umur kita berkurang, karena umur yang kita ‘tabung’ memang cukup bernilai untuk kita petik kelak di saat kita sangat memerlukan? Kalau demikian, bukankah momentum tahun baru merupakan ketika paling baik untuk merenungkan dan mengevaluasi umur yang telah kita pakai bagi peningkatan kualitas penggunaannya pada masa-masa mendatang? 
Kehidupan yang monoton dan rutin yang kita jalani dengan terus begitu-begitu saja, di samping cenderung menjenuhkan, dapat membuat kita tidak menyadari keterbatasan umur kita dan pada akhirnya kematian pun selalu terasa mendadak. Apabila kemonotonan dan kerutinan itu pada amal yang baik, Alhamdulillah, malah ini mungkin yang disebut istiqamah. Tapi apabila sebaliknya, na’udzu billah.



Mereka yang terus menerus melecehkan hukum misalnya, apakah tidak khawatir kehabisan umur ketika sedang melecehkan hukum? Mereka yang terus menerus melakukan korupsi, apakah tidak khawatir pada waktu korupsi tiba-tiba umurnya habis? Mereka yang terus menerus jual tampang menipu rakyat, apakah tidak khawatir tiba-tia terhenti bagaikan mobil yang kehabisan bensin ketika sedang asyik menipu? Mereka yang terus bertikai dengan saudara sendiri, apakah tidak khawatir tiba-tiba ludes umurnya sebelum menyadari keremeh-temehan alasan mereka bertikai? Demikian sederet pertanyaan serupa bisa diajukan kepada siapa saja yang secara ‘rutin’ melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain seperti melakukan kewajaran. 



Pertanyaan itu diajukan antara lain karena kenyataan telah sering membuktikan kebenaran dawuh: “Maatal mar-u ‘alaa maa ‘aasya”, Orang mati sesuai hidupnya. Ada kiai di Jawa Tengah yang meninggal saat sujud; ada guru yang meninggal saat mengajar; ada intelektual yang meninggal saat ceramah; dst. Tapi kita juga membaca berita ada tokoh masyarakat yang mati di hotel dalam pelukan pelacur; ada yang mati mendadak ketika sedang menghitung uang suap; dan masih banyak lagi yang tidak diberitakan.



Yang membuat banyak orang khawatir, ternyata dalam kehidupan ramai berbangsa dan bernegara pun tampaknya menjalani kehidupan yang itu- itu saja juga terus berlangsung. KKN terus merajalela. Sogok-menyogok terus marak. Rekayasa busuk terus berlangsung. Keserakahan terus tak terkendali. Dunia keagamaan masih terus diramaikan dengan saling memutlakkan pemahaman dan pendapat sendiri, seolah-olah masing-masing wakil resmi Tuhan. Dunia politik masih terus didominasi mereka yang berebut kekuasaan dan fanatisme kelompok. Para pejabat dan wakil rakyat masih terus pamer kegagahan dan kelihaian menjauhi rakyat. Dunia usaha masih terus dipenuhi dengan tindakan spekulasi dan keserakahan model mafia. Dunia hukum masih terus dipusingkan oleh hakim-hakim dan para penegak hukum yang taktahu menghargai hukum. Dan sebagainya dan seterusnya.



Apakah tahun baru ini pun tak menjanjikan perubahan?



Catatan: Seperti terbaca dalan tulisan di atas, ini saya tulis 5 tahun yang lalu. Adalah sungguh menyedihkan bila tulisan ini ternyata seperti baru saja saya tulis. Berarti kondisi kita seperti ‘berjalan di tempat’.

Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

1 Respones to "Tahun Baru Bersama Mustofa Bisri"

Redaksi said...

mayoritas masyarat memang kadang tidak sadar gan bhwa tahun bru ntoo mengurangi umur hdupnya...bkannya sedih, malah seneng2...


4 February 2015 at 19:35

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris