Bab I
Pendahuluan
a. Latar Belakang
Manusia
adalah makhluk yang memiliki akal yang dalam eksistensinya selalu membutuhkan
orang lain sebagai zoon politicon . Karena kodratnya sebagai makhluk
yang saling membutuhkan satu sama lain, akhirnya mereka akan membentuk suatu
komunitas yang mana dalam komunitas tersebut akan ada yang ditunjuk sebagai
pemimpin di antara komunitas itu. Wilayah atau area yang luas di bumi ini
mengakibatkan adanya pembagian kekuasaan antara komunitas-komunitas tersebut.
Pembagian area tersebut dimungkinkan atas perbedaan yang ada pada system
kehidupan komunitas itu, baik itu nilai, norma, budaya, bahasa dan lainnya.
Beranjak
dari tulisan di atas, maka timbullah istilah otonomi di Indonesia sebagai
perealisasi atas UUD 1945 yang telah diamanatkan dalam pasal-pasalnya. Otonomi
tersebut lahir sebagai pengukuhan rasa persamaan ras yang ada di suatu daerah
sebagai ciri budaya kesatuan Indonesia. Selain itu, luasnya wilayah Indonesia,
yang mana ada komunitas atau sekumpulan masyarakatnya yang tinggal di daerah
pegunungan, pantai atau kepulauan menyebabkan sulitnya pemerintah pusat untuk
langsung menunggangi semuanya. Atas dasar inilah muncul otonomi daerah sebagai
sarana untuk bisa menjamah daerah yang tidak bisa dijangkau pemerintah pusat.
Bab II
Pembahasan
(Otonomi Daerah)
a. Pengertian dan Dasar Hukum
Otonomi Daerah
Perberlakuan
system otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 amandemen kedua tahun 2000 untuk
dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang yang dibentuk khusus untuk mengatur
pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan
pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu pasal 18, pasal 18A, dan pasal 18B.
system otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam pasal 18 untuk diatur
lebih lanjut oleh Undang-Undang.
Pasal
18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan
kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh
Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.” Dan ayat (6) pasal
yang sama menyatakan, “ Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah
dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara
khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober
2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan
definisi otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi
daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.”
UU
Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah
otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.”
b. Sejarah Otonomi Daerah
Sejarah
terbentuknya system otonomi daerah di Indonesia mengalami beberapa periodesasi.
Dasar-dasar pembentukan otonomi daerah ini juga tidak terlepas dari landasan
historis yang ada di daerah masing-masing terhadap Indonesia
1. Periode I (1945-1948)
Peraturan
perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah UUNo.
1 Tahun 1945. Undang-undang ini dibuat dalam keadaan darurat, sehingga sehingga
hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja.UU ini menekankan
pada aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan
Perwakilan Rakyat Daerah.
UU
No. 1 Tahun 1945 menyebutkanada tiga jenis daerah yang memiliki otonomi yaitu:
- Karesidenan
- Kota
otonom
- Kabupaten
serta lain-lain daerah yang dianggap perlu (kecuali daerah Surakarta dan
Yogyakarta)
Pemberian
otonomi itu dilakukan dengan membentuk Komite Nasional Daerah sebagai Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagai penyelenggara pemerintahan daerah adalah
Komite Nasional Daerah bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
Untuk pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh Komite
Nasional Daerah dan dipimpin oleh Kepala Daerah.
2. Periode II (1948-1957)
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22
Tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.UU ini
berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis.
Dalam
UU dinyatakan bahwa ada tiga tingkatan daerah otonom, yaitu:
1.
Propinsi
2.
Kabupaten/Kota
Besar
3.
Desa/Kota
Kecil, negeri, marga dan lain-lain
UU
ini menganut sistem atau ajaran materiil. Sebagai mana dikatakan
Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganutotonomi material, yakni dengan
mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan kewajiban apasaja yang diserahkan
kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom dirinci wewenangnya yang
diserahkan, diluar itu merupakan wewenang pemerintah pusat.
3. Periode III (1957-1965)
Pada
periode ini berlaku UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah
yang disebut juga Undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan 1956.
Dalam
perjalanannya, UU ini mengalami dua kali penyempurnaan, yaitu dengan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun
nama resmi dari sistem otonomi yang dianut adalah sistem otonomi riil,
sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam penjelasan UU tersebut.
(Soejito;1976)
4. Periode IV (1965-1974)
Pada
periode ini berlaku UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
Daerah.UU ini menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya.
Dikatakan
oleh Sujamto(1990), Seperti halnya UU No. 1 Tahun 1957 UU ini juga menganut
sistem otonomi riil.
Dalam
pelaksanaannya, meski konsepsinya adalah penyerahan otonomi daerah secara riil
dan seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara keseluruhan masih
berupa penyerahan oleh pusat, daerah tetap menjadi aktor yang pasif.
5. Periode V (1974-1999)
Pada
periode ini berlaku UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di
Daerah.
Menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.
Menurut
UU ini secara umum Indonesia dibagi menjadi satu macam Daerah Otonom sebagai
pelaksanaan asas desentralisasi dan Wilayah Administratif sebagai pelaksanaan
asas dekonsentrasi.
Daerah Otonom
|
||
Tingkatan
|
Nomenklatur Daerah Otonom
|
|
Tingkat I
|
Deerah Tingkat I/(Dati I)/Daerah Khusus Ibukota/Daerah
Istimewa
|
|
Tingkat II
|
Daerah Tingkat II (Dati II)
|
|
Wilayah Administrasi
|
||
Tingkatan
|
Nomenklatur Wilayah Administratif
|
|
Tingkat I
|
Provinsi/Ibukota Negara
|
|
Tingkat II
|
Kabupaten/Kotamadya
|
|
Tingkat IIa
|
Kota Administratif
|
|
Tingkat III
|
Kecamatan
|
|
Nama
dan batas Daerah Tingkat I adalah sama dengan nama dan batas Wilayah Provinsi
atau Ibukota Negara. Ibukota Daerah Tingkat I adalah ibukota Wilayah Provinsi.
Nama dan batas Daerah Tingkat II adalah sama dengan nama dan batas Wilayah
Kabupaten atau Kotamadya. Ibukota Daerah Tingkat II adalah ibukota Wilayah
Kabupaten.
Undang-undang
No. 5 Tahun 1974 ini juga meletakkan dasar-dasar sistem hubungan pusat-daerah
yang dirangkum dalam tiga prinsip:
1. Desentralisasi, penyerahan urusan pemerintah
dari Pemerintah atau Daerah tingkat atasnya kepada Daerah menjadi urusan rumah
tangganya
2. Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang dari
Pemerintah atau Kepala Wilayah atau Kepala Instansi Vertikal tingkat atasnya
kepada Pejabat-pejabat di daerah
3. Tugas Pembantuan, tugas untuk turut serta dalam
melaksanakan urusan pemerintahan yang ditugaskan kepada Pemerintah Daerah oleh
Pemerintah oleh Pemerintah Daerah atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya dengan
kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Meskipun
harus diakui bahwa UU No. 5 Tahun 1974 adalah suatu komitmen politik, namun
dalam prakteknya yang terjadi adalah sentralisasi yang dominan dalam
perencanaan maupun implementasi pembangunan Indonesia. Salah satu fenomena
paling menonjol dari pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1974 ini adalah ketergantungan
Pemerintah daerah yang relatif tinggi terhadap pemerintah pusat.
6. Periode VI (1999-2004)
Pada
periode ini berlaku UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut
UU ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui
kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakartadan
satu tingkat wilayah administratif.
Tiga
jenis daerah otonom adalah Daerah Provinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota.
Ketiga jenis daerah tersebut berkedudukan setara dalam artian tidak ada hirarki
daerah otonom. Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai wilayah administratif.
Undang-Undang
menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur "Pemerintahan
Daerah". Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi. Daerah
Otonom (disebut Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota) adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Periode VII (mulai 2004)
Pada
periode ini berlaku UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini
menggantikan UU No. 22 Tahun 1999.
Menurut
UU ini Indonesia dibagi menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan
daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu
Negara mengakui kekhususan dan/atau keistimewaan yang ada pada empat daerah
yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain)
beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.
Diberlakukannya
UU No. 32 dan UU No. 33 tahun 2004, kewenangan Pemerintah didesentralisasikan
ke daerah, ini mengandung makna, pemerintah pusat tidak lagi mengurus
kepentingan rumah tangga daerah-daerah. Kewenangan mengurus, dan mengatur rumah
tangga daerah diserahkan kepada masyarakat di daerah. Pemerintah pusat hanya
berperan sebagai supervisor, pemantau, pengawas dan penilai.
Visi
otonomi daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama, yaitu :
Politik, Ekonomi serta Sosial dan Budaya.
BAB III
KEWENANGAN
DAERAH
Pasal 7
1) Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
2) Kewenangan
bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan
nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan
keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan
dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta
teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.
Pasal 8
1) Kewenangan
Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus
disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana,
serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
2) Kewenangan
Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus
disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
Pasal 9
1) Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan
yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang
pemerintahan tertentu lainnya.
2) Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
3) Kewenangan
Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pasal 10
1) Daerah
berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan
bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Kewenangan
Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi:
a. eksplorasi,
eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut
tersebut
b.
pengaturan
kepentingan administratif
c. pengaturan
tata ruang
d. penegakan
hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan
kewenangannya oleh Pemerintah
e. bantuan
penegakan keamanan dan kedaulatan negara
3) Kewenangan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi.
4) Pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
1) Kewenangan
Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain
kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
2) Bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota
meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,
perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup,
pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Pasal 12
Pengaturan
lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
1) Pemerintah
dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas
pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada
Pemerintah.
2) Setiap
penugasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan
perundang-undangan.
Berdasarkan
Bab IV tentang Kewenangan Daerah dalam UUNo. 22 Tahun 1999, maka, pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah dilakukan berdasarkan prinsip negara kesatuan
tetapi dengan semangat fedralisme. Jenis yang ditangani pusat hampir sama
dengan yang ditangai oleh pemerintah di negara federal, yaitu hubungan luar
negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan agama serta berbagai
jenis urusan yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah
pusat seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi
pemerintahan, badan usaha milik negara dan pengembangan sumber daya manusia.
Kewenangan propinsi sebagai daerah administrasi mencakup:
1. Kewenangan
bersifat lintas kabupaten dan kota
2.Kewenangan
pemerintahan lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makro
3.
Kewenangan
kelautan
4.
Kewenangan
yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan kota
Kewenangan pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonomi:
1.
Pertahanan
2.
Pertanian
3.
Pendidikan
dan kebudayaan
4.
Tenaga
kerja
5.
Kesehatan
6.
Lingkungan
hidup
7.
Pekerjaan
umum
8.
Perhubungan
9.
Perdagangan
dan industri
10.
Penanaman
modal
11.
Koperasi
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonomi
kabupaten dan daerah otonomi kota dilandasi oleh sejumlah pemikiran:
1.
Makin
dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga masyarakat yang
dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas dan terjangkau pelayanan
publik tersebut.
2.
Penyerahan
11 jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota
akan membuka peluang dan kesempatan bagi aktor-aktor politik lokal dan sumber
daya manusia yang berkualitas didaerah untuk mengajukan prakarsa,
berkreativitas dan melakukan inovasi.
3.
Karena
distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata.
4.
Pengangguran
dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional yang tidak saja hanya dipikulkan
kepada pemerintah pusat semata.
A. Model Desentralisasi
Menurut Rondinelli (dalam Srijanti, 2010:182), terdapat empat model desentralisasi, yaitu :
1. Dekonsentralisasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah ke-pada Gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu.
2. Delegasi, yaitu
pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajeria untuk melakukan tugas
khusus kepada suatu organisasi, secara tidak langsung berada di bawah
pengawasan pemerintah pusat.
3. Devolusi, yaitu transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah.
4. Privatisasi, yaitu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan
badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat.
B. Mengapa Ada Daerah
Istimewah?
Mungkin
kita bertanya-tanya dalam pikiran kita, mengapa mesti ada daerah istimewah
dalam system otonomi daerah di Indonesia? Apakah hal tersebut tidak menyebabkan
kesenjangan sosial antara provinsi yang satu dengan yang lain? Dan mengapa
daerah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Aceh, Surakarta, dan Irian Jaya merupakan
daerah istimewah dalam perjalanan periodesasi keotonomian daerah di Indonesia?
Jakarta,
daerah ini merupakan Ibukota Negara sehingga memiliki keistimewahan dibanding
dengan daerah yang lain. Periode-periode awal, Surakarta (Solo) merupakan
daerah istimewah dikarenakan sejak zaman colonial Belanda dahulu, Solo
merupakan Negara bagian dari daerah colonial, hal inilah yang menyebabkannya
menjadi istemewah. Tetapi hal ini tidak lama, sehingga Solo hanya dianggap
pemerintahan daerah tingkat II yang tidak memiliki keistimewahan. DI
Yogyakarta, daerah ini mendapatkan keistimewahannya sama seperti Solo. Akan
tetapi, daerah ini banyak nilai historis perjuangan nasional bergolak di
dalamnya. Yogyakarta merupakan daerah penyumbang dana perdana bagi system
birokrasi di pemerintahan Indonesia awal, selain itu daerah ini sempat menjadi
Ibukota Negara saat Jakarta jatuh ke tangan Belanda dan Presiden Sukarno
ditangkap ketika pasca kemerdekaan.
Lalu,
bagaimana dengan Aceh dan Irian Jaya? Apakah daerah ini merupakan daerah yang
sama seperti keistimewahan daerah seperti yang telah dijelaskan di atas? Dua
daerah ini mendapatkan keistimewahan dari hasil Konferensi Meja Bundar di Den
Hag tentang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hasil Konferensi
Meja Bundar:
Serahterima kedaulatan dari pemerintah
kolonial Belanda kepada Republik
Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat.
Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah
Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara
terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai
hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian
dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu
tahun
Dibentuknya sebuah persekutuan
Belanda-Indonesia, dengan monarch
Belanda sebagai kepala negara
Pengambil alihan hutang Hindia Belanda
oleh Republik Indonesia Serikat
1.
Keradjaan
Nederland menjerahkan kedaulatan atas Indonesia jang sepenuhnja kepada Republik
Indonesia Serikat dengan tidak bersjarat lagi dan tidak dapat ditjabut, dan
karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan
berdaulat.
2.
Republik
Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada
Konstitusinja; rantjangan konstitusi telah dipermaklumkan kepada Keradjaan
Nederland.
3.
Kedaulatan
akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949
Rantjangan
Piagam Penjerahan Kedaulatan.
Meninjau dari
KMB di atas, Irian Jaya merupakan daerah yang masih dalam perselisihan antara
Indonesia dengan Belanda. Sehingga, setelah perjanjian KMB selesai dan
ditindaklanjuti, maka diadakan jajak pendapat dengan keputusan Irian Jaya
mengakui atau ikut ke dalam kedaulatan NKRI. Tetapi, belakangan ini terdapat
isu bahwa jajak pendapat tersebut memiliki ketidakjelasan yang pasti. Hal ini
yang menyebabkan maraknya gerakan Kemerdekaan atas Irian Jaya.
Lalu
bagaimana dengan Aceh? Dahulu daerah ini memiliki nama DI Aceh, mengapa
daerah ini istimewah? Daerah ini istimewah juga beranjak atas KMB tersebut.
Ketika zaman colonial Belanda, Aceh merupakan daerah yang dipegang oleh Inggris
dan Inggris sendiri mengakui bahwa Aceh adalah sebuah Negara. Hal ini tercantum
dalam Perjanjian London dan Traktat Siak. Beranjak dari perjanjian tersebut,
dapat juga dilihat dari penyebab Perang Aceh, yaitu:
Perang Aceh disebabkan karena:
Belanda menduduki daerah Siak. Akibat dari Perjanjian
Siak 1858. Di mana Sultan Ismail menyerahkan daerah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda,
padahal daerah-daerah itu sejak Sultan
Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh.
Belanda melanggar perjanjian Siak, maka
berakhirlah perjanjian London
tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat
ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu
dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh.
Aceh menuduh Belanda tidak menepati
janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan
oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.
Dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de
Lesseps. Menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu
lintas perdagangan.
Ditandatanganinya Perjanjian
London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania
memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda
harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda
mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat
kepadaBritania.
Akibat perjanjian Sumatera 1871, Aceh
mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan
Italia, Kesultanan
Usmaniyah di Singapura.
Dan mengirimkan utusan ke Turki Usmani
pada tahun 1871.
Akibat hubungan diplomatik Aceh dengan
Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura, Belanda menjadikan itu sebagai
alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik
Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan
meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan
di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.
Hal ini
yang menyebabkan bahwa Aceh tidak bagian dari kedaulatan Belanda, sehingga Aceh
menganggap bukan kedaulatan NKRI (KMB). Untuk mempertahankan Aceh pada
Indonesia, pemerintah memberikan keistimewahan pada Aceh.
Awal mula
dari perpecahan dan keistimewahan di Indonesia berakar pada hasil KMB tersebut,
termasuk juga Jakarta dan DI Yogyakarta. Satu hal yang membuktikan hal ini
adalah lepasnya Timor Leste dari NKRI setelah diadakan jajak pendapat pada
1999. Timor Leste mengakui bukan daerah jajahan Belanda melainkan jajahan dari
Portugal sehingga mereka lepas dari kedaulatan NKRI.
Bab IV
Kesimpulan
1.
Berdasarkan
Undang-undang yang mengatur tentang otonomi daerah, maka sejarah otonomi daerah
di Indonesia dibagi menjadi 7 periode, yaitu:
a. Periode I
(1945-1948), berlaku UU No. 1 Tahun 1945
b. Periode II (1948-1957),
berlaku UU No. 22 Tahun 1948
c. Periode
III (1957-1965), berlaku UU No. 1 Tahun 1957
d. Periode IV (1965-1974),
berlaku UU No. 18 Tahun 1965
e. Periode V
(1974-1999), berlaku UU No. 5 Tahun 1975
f. Periode VI
(1999-2004), berlaku UU No. 22 Tahun 1999
g. Periode VII (mulai 2004),
berlaku UU No. 32 Tahun 2004
2.
Berdasarkan
Bab IV tentang Kewenangan Daerah dalam UUNo. 22 Tahun 1999, maka, pembagian
kekuasaan antara pusat dan daerah dapat dikelompokkan menjadi:
a. Kewenangan
pemerintah pusat:
1.
Hubungan
luar negeri,
2.
Pertahanan
dan keamanan
3.
Peradilan
4.
Moneter
5.
Agama
6.
Urusan
yang memang lebih efisien ditangani secara sentral oleh pemerintah pusat
(seperti kebijakan makro ekonomi standarisasi nasional, administrasi
pemerintahan, badan usaha milik negara dan pengembangan sumber daya manusia)
b. Kewenangan
propinsi sebagai daerah administrasi mencakup:
1.
Kewenangan
bersifat lintas kabupaten dan kota
2.
Kewenangan
pemerintahan lainnya, seperti perencanaan dan pengendalian pembangunan regional
secara makro
3.
Kewenangan
kelautan
4.
Kewenangan
yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan kota
c.
Kewenangan
pemerintah kabupaten dan kota sebagai daerah otonomi
1.
Pertahanan
2.
Pertanian
3.
Pendidikan
dan kebudayaan
4.
Tenaga
kerja
5.
Kesehatan
6.
Lingkungan
hidup
7.
Pekerjaan
umum
8.
Perhubungan
9.
Perdagangan
dan industri
10. Penanaman
modal
11. Koperasi
3.
Konferensi
Meja Bundar di Den Haag merupakan awal dari atau cikal bakal dari dari
keistimewahan dan pembagian daerah yang ada di Indonesia. Adapun daerah yang
mengalami keistimewahan dihitung dari periode awal kemerdekaan di Indonesia
adalah:
a.
Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
b.
Daerah
Istimewah Yogyakarta
c.
Nanggroe
Aceh Darussalam
d.
Irian
Jaya
Responses
0 Respones to "Secagkir Gagasan untuk Otonomi Daerah "
Post a Comment