Suara rintihan itu makin lama
makin keras, diiringi isak tangis yang membuat bulu kudukku berdiri. Jantungku
mulai berdegub kencang dan keringat dingin pun mulai mengucur. Perhatianku
tertuju pada jam dinding di pojok kamarku.
“Aduh, sudah
jam dua belas malam rupanya!” Batinku dengan cemas.
Kesunyian malam membuat suara itu kian bertahta
menguasai pikiranku yang semakin tidak karuan.
“Dug...dug...dug...!” Suara benturan terdengar berulang
kali.
Aku mencoba menutup telingaku dengan kedua
tangan, kuraskan udara dingin disekujur tubuhku. Suara itu hampir saja
membuatku mati berdiri. Aku mencoba mengumpulkan tenaga yang masih tersisa
untuk menyingkirkan ketakutan yang sedang melanda diriku. Aku pun mulai mencari
suara itu berasal.
“Lara...!” Teriakku dengan keras.
Suaraku memecahkan kesunyian malam bagaikan halilintar
yang siap menyambar. Satu-persatu mereka mulai berdatangan bu Broto, Nanik,
Tutik, Hayati, dan Novi.
“Ada apa
Ran?” Tanya bu Broto dengan cemas.
“Lara...!”
Hanya kata-kata itu yang keluar dari mulutku.
“Lara, buka pintunya!” Teriak salah seorang diantara
kami.
Suara benturan semakin keras, perasaan
takut dan cemas pun semakin menjadi.
Tidak lama
kemudian para warga yang mulai terusik dengan kegaduhan yang kian meradang
mulai mendatangi kami.
“Dobrak pintunya?”
Teriak seorang laki-laki .
Dengan
spontan mereka mendobrak pintu itu dengan bongkahan kayu yang berada di
halaman. Berkali-kali mereka mendobrak pintu itu, dan untuk yang kelima kalinya
akhirnya pintu itu terbuka.
“Lara...!”
Kami pun menjerit histeris.
Mata kami
terbelalak menatap Lara, lantai yang semula putih kini terdapat bercak merah
yang menghiasi kening Lara. Tubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi, serta
bibirnya yang indah bak delima merekah kini mulai membiru, sekujur tubuhnya pun
dingin seperti es.
“ Aku tidak mau mati!” Teriak
Lara.
Lara pun semakin menjadi ia mulai
mengobarak-abrik kamarnya, barang-barang mulai berjatuhan. Sepertinya ia sedang
melawan sesuatu yang meneror dirinya.
“Jangan-jangan
Lara kesurupan arwah mbah Kliwon, penunggu pohon asem disamping kamarnya”
batinku.
Tapi orang-orang yang melihat
kejadian itu mengiranya sakit jiwa, mereka pun menatap Lara dengan tatapan
tajam.
“Pergi, aku tidak mau mati!” Kata-kata itu
terus keluar dari mulut Lara.
“Istighfar,
nak!” Ucap Bu Broto.
Seiring dengan kedatangan fajar
kondisi Lara pun mulai membaik, otot wajah dan leher yang semula tegang kini
mulai mengendur. Kami pun mulai menjalankan aktivitas seperti biasanya, begitu
juga dengan Lara.
“Jojo...Nita...!” Sapa Lara kepada
kedua anak kecil yang hendak pergi kesekolah.
Lara memberikan coklat dari dalam tasnya kepada mereka.
Biasanya mereka menyambut kehadiran Lara dengan celoteh manja, namun keadaan
berbanding terbalik. Mereka malah membuang coklat pemberian Lara dan berlari
sambil berterik-terik.
“Ada orang
gila...!” Jerit mereka dengan kerasnya.
Betapa
tersayatnya perasaan Lara mendengar perkataan mereka, wajahnya pun tiba-tiba
muram seperti awan mendung.
“Ini pasti
ulah kedua orangtua mereka” batinku.
“Aduh...!”
Teriak Lara kesakitan.
Anak-anak
kecil mulai berdatangan mendengar teriakan Jojo dan Nita sambil melempari Lara
dengan batu yang mereka bawa.
“Berhenti
anak nakal?” Pintaku penuh emosi.
Mereka pun
berlari dengan kencangnya melihat kemarahan ku yang semakin menjadi.
“ Sudahlah Ran namanya saja anak kecil, wajar saja kalau
mereka nakal”ucapnya dengan sabar.
Setibanya di kampus Lara langsung menuju ke perpustakaan, dengan seriusnya ia mengamati
mading yang terpampang di sana.
“Laras!”
teriak seorang gadis yang berlari menghampirinya.
Namun wanita yang dipanggil Lara olehnya tak merespon
panggilan gadis tersebut. Ia tetap saja memperhatikan mading yang berada
dihadapannya.
“Laras...!” Gumamku dengan heran.
“Panggil dia Lara?” Ucapku.
Memang nama lengkapnya Laras Ningtias, namun ia paling
tidak suka dipanggil Laras atau Tias. Baginya nama tersebut sudah menjadi harga
mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Kejadian yang
menimpa Lara semalam seolah hanya mimpi buruk saja, Pasalnya raut wajahnya yang
berbinar tidak menyisakan kejadian yang mencekam. Seakan tidak ada yang terjadi
pada dirinya, hanya luka memar yang masih tersisa dikeningnya.
Seperti biasanya Lara menghadiri rapat buletin yang
diselenggarakan dua kali dalam sebulan. Semenjak aku mengenalnya, entah mengapa
bola mataku tak henti-hentinya memperhatikan tingkah lakunya selama ini.
Sesungguhnya tak ada yang berlebih dari dirinya. Paras wajahnya biasa-biasa
saja, meskipun ia terlihat manis tetap saja belum dapat menandingi kecantikan
Luna Maya. Lara merupakan pimipinan redaksi yang berdedikasi tinggi, namun
banyak yang bilang tingkah laku Lara sedikit aneh. Awalnya aku tidak begitu
mempedulikannya, namun lama-lama aku merasa kasihan terhadapnya.
“Untuk wacana bulan depan saya serahkan tugas ini pada
Rani,” ucapnya dengan tegas.
Seketika itu
aku tersentak dari lamunanku dan mataku terbelalak menatap Lara. “ Bagaimana
bisa aku mengerjakannya!” Gumamku.
Tapi
sudahlah, semoga saja Faris mau membantu menggugurkan kewajibanku. Faris
merupakan mahasiswa jurusan psikologi yang sangat tergila-gila pada Lara.
Seusai rapat buletin aku langsung menghubungi Faris, dan
ia pun menyangagupi permintaanku. Keesokan harinya Faris menemuiku di
perpustakaan. Ia membawakan beberapa buku, jurnal, dan beberapa artikel yang ia
kumpulkan selama ini.
“Ran,
bagaimana jika schizofrenia yang dijadiakan wacana untuk buletin
bulan depan?” Tanyanya.
“Sebetulnya sih tidak masalah,” jawabku.
“Tapi, mengapa schizofrenia?”. Tanyaku.
“Supaya buletin kalian lebih beragam, tidak hanya
membahas masalah pendidikan saja,” jawabnya dengan nada menyindir.
Sesampainya di kost aku mulai membaca satu persatu buku
yang membahas schizofrenia beserta jurnal dan artikelnya. Ternyata halusinasi
yang ditimbulkan oleh schizofrenia dapat membuat si penderitanya bunuh diri.
Aku pun semakin antusias mempelajari schizofrenia. Apalagi buku yang memuat
kisah hidup Ken Steele seorang penderita schizofrenia yang berhasil terbebas
dari penyakit yang mengerikan itu membuatku sangat terharu. Tiba-tiba saja
muncul suara aneh yang mencoba mengusik ketenanganku.
“Lara...!” Batinku dengan cemas.
Aku pun berlari menuju kamarnya detak jantungkku pun
kembali berdegub kencang. Aku mencoba membuka pintu kamarnya, yang terbayangkan
di benakku kejadian semalam terulang kembali.
“Tidak mungkin, bagaimana bisa tak ada siapa-siapa di
kamar Lara” gumamku dengan heran.
Aku pun mulai
mengamati seisi ruangan, mungkin saja ada kucing yang masuk ke kamar Lara.
Lukisan-lukisan Lara menghiasi dinding kamarnya, dengan warna-warna pudar
menimbulkan kesan sunyi dan mistik. Aku pun mulai membenahi kamar Lara yang
masih berantakkan sejak kejadiaan semalam. Satu persatu ku benahi kaleng-kaleng
cat yang tercecer di lantai serta yang menggelinding di bawah tempat tidur.
“Astagfirullah!” Teriakku dengan spontan.
Aku pun berlari keluar sambil berteriak-teriak meminta
pertolongan. Aku tidak tahu makhluk apa yang berada di bawah tempat tidur Lara,
yang kutahu tubuhnya berwarna putih. Novi,Tuti, dan Nani mencoba memeriksa kamar
Lara. Jantung kami pun berdetak semakin kencang perasan takut dan cemas membuat
bulu kuduk kami berdiri.
“Lara...!”
Teriak Tuti dengan heran.
“Lara, sedang
apa kau di sana?” Tanya Nani
“ Lara cepat
keluar dari persembunyian mu?” Pinta ku
“Jangan takut
ada kami di sini!” Ucap Novi.
Rupanya Novi
tahu benar sikap Lara yang kerap menyembunyikan dirinya bila ketakutan sedang
melanda. Aku pun sempat mendengar dari teman sekelasnya perilaku Lara yang
kerap bersembunyi di bawah meja bahkan dibalik korden.
Dengan kain putih yang menutupi sekujur tubuhnya ia
tetep saja bersembunyi di sana, seperti ada sesuatau yang mengancam dirinya.
Kami pun sempat terkejut, orang-orang mulai berdatangan mencari Lara.
“Mana Lara?” Tanya bu Broto dengan geramnya.
“Dasar orang gila tidak tahu diuntung,” teriak salah
seorang diantara mereka.
“Bawa saja ia
ke rumah sakit jiwa? ” Pinta mereka.
Seketika itu
emosi kami meledak-ledak ketika induk semang kami bersama para warga mencoba
membawa Lara kerumah sakit jiwa dengan paksa.
“Jangan bawa Lara!” Teriak kami sambil memukul
orang-orang yang mencoba membawanya.
Lara pun
terus berontak dan berusaha melarikan diri namun ia tidak berhasil. Lara
meronta-ronta seperti hewan yang akan disembelih. Tangan dan kakinya diikat
serta mulutnya dibungkam. Kami pun terus melempari mobil yang membawa Lara
kerumah sakit jiwa.
Andai saja Faris datang lima belas
menit lebih awal, mungkin kejadian ini tidak terjadi.
“Ran, mana Lara?” Tanyanya dengan cemas.
“Bu Broto telah membawanya kerumah sakit jiwa,” jawabku. Faris pun terkejut mendengar perkataanku.
“Bagaimana bisa?” Tanyanya penuh emosi.
“Bu Broto mengiranya sakit jiwa” ucapku.
“Lara bukan sakit jiwa!” Teriaknya penuh emosi.
“Kau tau kenapa aku memberikan buku, jurnal, dan kliping
tentang schizofrenia padamu?”
“Jadi kau
pikir Lara menderita schizofrenia?” Tanyaku.
“Mungkin ia, mungkin juga tidak” Jawabnya.
Lara sering menceritakan hal-hal aneh yang menimpa
dirinya dan itu mirip sekali dengan penderita schizofrenia paranoid. Ia kerap
sekali menerima teror berupa suara-suara untuk segera mengakhiri hidupnya.
“Bunuh dirimu pecundang, kamu layak mati!” Ucap
suara-suara itu.
“Apa schizofrenia paranoid bisa di
sembuhkan?” Tanyaku.
“ Secara teori sulit disembuhkan,
tapi Ken Steele bisa terbebas dari peyakit yang dideritanya selama belasan
tahun.
Keesokan harinya aku dan Faris mengunjungi
Lara di rumah sakit setibanya disana kami langsung mencari Lara, kami berniat
membawanya pulang namun pihak rumah sakit tidak mengijinkannya. Kerena kondisi
Lara yang tidak stabil membut para dokter terus mengawasi gerak-geriknya yang
kerap kali mencoba mengakhiri hidupnya.
Keadaannya
sudah lebih tenang setelah dokter memberikan beberapa butir falibrium, dan
valium sejenis obat penenang, katanya.
“Lara, sampai
kapan pun kamu akan tetap ada di hati kami”,ucapku
“Hanya orang-orang hebatlah yang diberi cobaan berat
sang pencipta”
Kata-kata bijak itu keluar dari
mulut Faris, orang yang selama ini mencintainya. Lara pun tersenyum hingga
kedua lesung pipitnya nampak begitu jelas. Sepertinya Lara mulai menaruh hati
pada Faris.
“Kamu pasti mampu melewati ini
semua,” ucap Dr. Siwi yang selama ini merawat Lara.
Sudah hampir sebulan Lara berada di rumah sakit, namun
tidak menunjukan tanda-tanda kesembuhan. Wajahnya pucat dan tubuhnya kurus
kering. Tatapan matanya benar-benar kosong. Kelakuan Lara semakin aneh ia
menyeret kakinya maju mundur seperti zombie. Aku pun menanyakan hal tersebut
pada pihak rumah sakit ternyata Lara menjadi seperti itu akibat pemberian
horazine, stelazine dan haldol dengan dosis tinggi.
“Sret...sret...” suara itu terdengar berulang-ulangkali.
Suara itu terdengar memilukan seperti tubuh yang
tersayat-sayat dan penuh keputusasaan. Kini Lara dimasukan ke dalam
pengasingan, dengan pintu terbuka dan anggota staf khusus yang menjaganya.
Aku yakin berita yang akan kusampaikan padanya akan
memberikan sedikit perubahan pada dirinya. Setidaknya ia dapat menyadari bahwa
dirinya sangat berguna. Aku, Faris dan teman-temannya mendatanginya tepat di
hari ulang tahun Kami pun sudah mempersiapkan kue ulang tahun beserta kado
istimewa untuknya, yang terbayangkan dibenak kami senyuman Lara akan kembali
menghiasi wajahnya yang manis. Ia pasti terkejut, setelah ia mengetahui
novelnya telah diterbitkan.
Sesampainya
disana Laralah yang terlebih dahulu memberi kejutan pada kami. Ia sudah tidak
menghuni pengasingan lagi dan tidak ada dokter khusus yang menjaganya.
Kami pun mengantarkannya pulang ketempat dimana ia lahir
dan dibesarkan. Purworejo, di tempat itulah kini Lara tinggal, tempat yang jauh
dari keramaian dan dihiasi pohon kamboja yang terus bersemi tanpa henti. Andai
saja Lara sempat mendengar kabar yang akan ku sampaikan, setidaknya ia dapat
merasakan kebahagiaan diakhir hidupnya. Tapi ia pergi dengan membawa nama yang
mengisahkan hidupnya, Lara.
Kami melepas
kepergian Lara dengan linangan air mata akibat overdosis yang merenggut
nyawanya. Tak tahan dengan suara-suara yang kerap menerornya, membuat Lara
terpaksa meminum obat antipsikotik secara berlebihan tanpa pengawasan dokter.
Orangtua Lara pun tidak menuntut pihak rumah sakit tersebut.
“ Lha wong namanya sudah takdir mau diapakan lagi, Lara
pasti bahagia di sana di surga tempat anak yang berbakti pada orngtuanya.”
Kesedihan yang mendalam tampak diwajah Faris, tapi ia
mencoba menerima kepergian Lara dengan ikhlas. Rasa penyesalan bu Broto dan
para warga tampak diraut wajah mereka
bendera
putih, kain kafan, keranda, serta iring-iringan mobil jenazah yang
mengantarkannya ke pemakaman menjadikan tanda penghormatan terakhir padanya.
Kini Lara telah berada dipangkuan ilahi, tetapi karyanya tidak ikut terkubur
bersamanya. Lukisan-lukisannya terpampang diberbagai galeri dan novelnya akan
diadopsi kedalam film layar lebar.
Seiring
dengan kepergian Lara, Langit pun nampaknya dirundung kesedihan, mega mendung
terus memayungai sekitar pemakaman dimana jasad Lara kini bersemayam. Tangisan
awan pun membasahi tanah pekuburan yang masih merah. Pemandangan serba hitam
menambahkan kesan kesedihan atas kepergian Lara, seketika itu semua menjadi
sunyi.
thanks to MUSLIH SUMANTRI
thanks to MUSLIH SUMANTRI
Responses
0 Respones to "Dunia Sunyi Lara"
Post a Comment