Ibnu Rushd In Memoriam
Apa makna mengenang Ibnu Rushd bagi kalangan muslim,
terutama muslim Indonesia? Maknanya sangat mendalam. Pemikiran-pemikiran Ibnu
Rushd sebenarnya bukanlah pemikiran yang asing bagi kalangan pesantren. Hampir
sebagian besar pesantren di seluruh tanah air mengajarkan salah satu buku
terpenting Ibnu Rushd, yaitu Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid. Dan
bagi pemerhati Filsafat Islam, Ibnu Rushd menjadi salah satu inspirator menuju
terbukanya “pintu filsafat” yang selama ini dikunci rapat-rapat dalam tradisi
Islam.
Setiap akhir bulan Desember, sejumlah Lembaga Kebudayaan
dan Filsafat memperingati hari wafatnya filsuf muslim terkemuka, Ibnu Rushd.
Gothe Institute yang bermarkaz di Berlin, Jerman pun tidak ketinggalan. Gothe,
menganugerahkan Ibnu Rushd Award 2003 kepada Muhammad Arkoun. Arkoun dinilai
telah melanjutkan pikiran-pikiran Ibnu Rushd dalam hal pencerahan dunia Islam,
terutama dalam rekonstruksi sejarah agama-agama (Alhayat, 11/12).
Di akhir tahun 1999, Lembaga Filsafat Mesir yang
dipimpin Hassan Hanafi menggelar simposium filsafat yang bertajuk, “Sembilan
Abad Mengenang Ibnu Rushd: Pelopor Rasionalisme Arab”. Simposium tersebut
dihadiri oleh sejumlah pemikir dari dunia Arab, seperti Tunisia, Suriah,
Lebanon, Maroko dan Mesir sebagai tuan rumah. Penulis yang kebetulan hadir
menjadi peserta aktif dalam simposium tersebut menangkap kesan, bahwa Ibnu
Rushd bangkit dari kuburannya!
Sedemikiankah? Tentu saja jawabannya, “ya”. Setahu
penulis, tidak pernah digelar sebuah forum ilmiah yang membahas tuntas
pemikiran Ibnu Rushd, sebagaimana dalam simposium tersebut. Perhelatan tersebut
menunjukkan, bahwa lambat-laun muncul kesadaran kolektif untuk mengapresiasi pemikiran-pemikiran
progresif yang tersedia dalam tradisi klasik. Ibnu Rushd dijadikan sebagai
maskot kebangkitan filsafat dan rasionalisme Arab. Ia dianggap sebagai filsuf
yang mampu meletakkan hubungan antara agama dan filsafat secara adil. Di tangan
Ibnu Rushd, filsafat mempunyai kedudukan dalam tradisi Arab. Bahkan Athif
‘Iraqi menyebut Ibnu Rushd sebagai filsuf terakhir yang dimiliki Arab!
Pertanyaan selanjutnya, apa makna mengenang Ibnu Rushd
bagi kalangan muslim, terutama muslim Indonesia? Hemat penulis, maknanya sangat
mendalam. Pemikiran-pemikiran Ibnu Rushd sebenarnya bukanlah pemikiran yang
asing bagi kalangan pesantren. Hampir sebagian besar pesantren di seluruh tanah
air mengajarkan salah satu buku terpenting Ibnu Rushd, yaitu Bidayat al-Mujtahid
wa Nihayat al-Muqtashid. Dan bagi pemerhati Filsafat Islam, Ibnu Rushd menjadi
salah satu inspirator menuju terbukanya “pintu filsafat” yang selama ini
dikunci rapat-rapat dalam tradisi Islam.
***
**
Dalam lanskap keberagamaan, tentu saja kita patut
berduka cita. Setidaknya selama tahun 2003 kita mencatat sejumlah peristiwa
penting yang bisa dianggap telah menodai agama. Konflik agama, teror dan bom
yang mengatasnamakan agama, politisasi agama, pengafiran yang mengatasnamakan
agama dan lain-lain. Intinya, agama masih digunakan oleh sebagian kelompok
untuk menebar kebencian dan kecurigaan, bahkan tak jarang agama digunakan untuk
memecah belah umat. Di sinilah, agama berada dalam kepungan kepentingan yang
bersifat sesaat. Dimensi kelenturan dan kemaslahatan agama hilang seketika.
Kenyataan tersebut, tentu saja menuntut komunitas muslim
agar mengambil peran penting untuk mewujudkan pandangan keagamaan yang lebih
menyejukkan dan mendamaikan. Diperlukan pandangan-pandangan progresif yang
dapat menguak dimensi moral etik Islam. Ajaran-ajaran keislaman sejatinya dapat
memberikan inspirasi bagi terwujudnya pandangan yang mendorong bagi keadilan,
kesetaraan, keragaman dan keadaban.
Ibnu Rushd sebagai filsuf, tabib, dan ulama sebenarnya
telah memberikan jalan kepada kita untuk menjadi seorang muslim progresif.
Menurutnya, seorang muslim yang baik adalah seorang muslim yang bisa
merepresentasikan zaman, di saat dan di mana ia hidup. Karena itu,
pandangan-pandangannya senantiasa menyegarkan dan mendewasakan wawasan
keagamaan kita, sebagaimana tercermin dalam beberapa hal berikut: Pertama,
pluralisme ijtihad. Ibnu Rushd adalah seorang hakim agama (qadhi) di Seville
(1169) dan Kepala Hakim Agama di Kordoba (1182). Dalam kapasitasnya sebagai
orang yang mempunyai otoritas dalam masalah keagamaan, ia tidak serta-merta
menggunakan otoritas tersebut sebagai tangan besi untuk menyimpulkan sebuah
hukum secara hitam-putih. Dalam ranah hukum Islam (fiqh), ia menekankan pentingnya
keragaman ijtihad.
Dataran Andalusia yang pada umumnya bermazhab Maliki
tidak secara otomatis mendorongnya untuk berpihak pada pandangan Imam Malik.
Ia, sebagaimana tertera dalam Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid,
memandang setiap persoalan fikih harus dilihat dengan kaca mata empat mazhab:
Syafi’ie, Hambali, Hanafi dan Maliki. Menurut Abid al-Jabiry (1998), Ibnu Rushd
sebenarnya ingin memberikan pelajaran berharga, bahwa yang amat penting dalam
fikih adalah menguraikan dimensi moral etik di balik hukum dan pentingnya
memahami proses ijtihad. Artinya, setiap hukum yang akan difatwakan sejatinya
dapat mempertimbangkan kemaslahatan umum. Apakah hukum yang akan difatwa
membawa kemaslahatan atau justru membawa kemudlaratan? Di sinilah pentingnya ijtihad
yang bersifat pluralis, yang dapat menjangkau kepentingan masyarakat pada
umumnya.
Kedua, kebebasan berpikir dan tradisi kritik. Ibnu Rushd
hidup dalam masa kegelapan dan terpasungnya kebebasan berpikir. Pada zamannya,
filsafat dikubur hidup-hidup, terutama setelah difatwa sesat (kafir) dan rancu
(mutahafit) oleh Imam al-Ghazali dalam Tahafut al-falasifah. Karena itu,
langkah yang diambil Ibnu Rushd adalah mengkritisi sejumlah buku yang selama
ini mengharamkan filsafat dengan menulis sebuah buku, Tahafut al-Tahafut, lalu
mengeluarkan fatwa, “pentingnya berpikir dan berfilsafat”, sebagaimana ditulis
secara satir dalam Fashl al-Maqal fi ma bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min
al-Ittishal. Menurutnya, kedudukan filsafat dan pikir sejajar dengan syariat.
Keduanya saudara sesusuan dan jalan menuju kebenaran. Ia menambahkan, bahwa
persoalan kalam semestinya tidak hanya didekati dengan pendekatan tekstual
saja, melainkan perlu dikekati dengan filsafat, yaitu melalui mekanisme takwil
yang berlandaskan analogi demonstratif (al-qiyas al-burhany). Atas dasar itu,
Ibnu Rushd menolak pengafiran terhadap para filsuf, karena filsafat dan pikir
merupakan ajaran Islam yang otentik. Muhammad Arkoun menyebut Ibnu Rushd
sebagai pioner rasionalisme dan iman yang tercerahkan (ra’id al-fikr al-‘aqlany
wa al-iman al-mustanir), karena iman sebagaimana dipahami Ibnu Rush tidak
memasung kebebasan berpikir.
Ketiga, dialog antar agama. Ibnu Rushd menghendaki agar
filsafat dijadikan jembatan untuk menerima kebenaran dari pihak lain (the others)
yang berbeda agama sekalipun. Ia menulis dalam Fashl al-Maqal, “Jikalau kita
menemukan kebenaran dari mereka yang berbeda agama, kita mesti menerima dan
menghormatinya. Sebaliknya bila kita menemukan kesalahan, maka kita patut
memperingatkan dan memaafkannya”. Ia memandang, bahwa perbedaan agama tidak
menjadi penghalang untuk membangun jembatan dialog. Karena itu, ia dengan tekun
membaca dan mengomentari filsafat Aristoteles yang nota-bene berasal dari luar
tradisinya. Menurut Youhanna Qalta, salah seorang pastur di Gereja al-Sujud,
Mesir, bahwa Ibnu Rushd telah membuka hati orang-orang Kristen untuk menyambut
baik pesannya agar membuka hati dan pikiran terhadap agama lain.
Keempat, kontrol atas kebijakan penguasa. Hal penting
yang mendarah-daging dalam karakter Ibnu Rushd adalah kontrol terhadap
kebijakan penguasa. Ia memandang, bahwa otoritarianisme berpontensi untuk
membunuh kepentingan kolektif. Karena itu, ia selalu berbeda pendapat dengan
khalifah. Bahkan tak jarang memanggil sang khalifah dengan, “wahai saudaraku”.
Sikap tersebut harus dibayar mahal oleh Ibnu Rushd, sehingga mengalami
inkuisisi (mihnah fikriyyah) dan diasingkan oleh khalifah ke Lucena, kepulauan
Atlantik, 1195. Kendatipun demikian, yang terpenting dari itu semua adalah
perlunya kontrol terhadap penguasa.
***
**
Tidak bisa dibayangkan, bahwa pikiran-pikiran genuine
Ibnu Rushd tersebut lahir sembilan abad yang lalu. Ia betul-betul pemikir yang
jarang dan unik. Di tengah tradisi yang hampir seragam dan di bawah sistem
monarki absolut, ia masih bisa bernafas dan menghirup multimakna yang tersimpan
dalam Islam.
Karenanya, di tengah carut-marutnya keberagamaan kita
belakangan ini, sejatinya Ibnu Rushd dapat membangkitkan gairah keberagamaan.
Diharapkan tumbuh kesadaran ijtihad, kebebasan berpikir, dialog antar-agama dan
kontrol atas kebijakan publik secara kontinyu. Sungguh, Ibnu Rushd mengingatkan
kita atas pentingnya menjadi muslim progresif, yaitu seorang muslim yang sadar
akan perannya dalam ranah sosial, bukan hanya dalam ranah privat.
Zuhairi Misrawi, Direktur Lembaga Studi Islam Progresif (LSIP) dan Koordinator Program Islam Emansipatoris, P3M, Jakarta.
Responses
0 Respones to "Pentingnya menjadi Muslim Progresif"
Post a Comment