Fazlur Rahman, salah seorang pemikir Islam asal Pakistan
pernah menaruh harapan kepada perkembangan Islam di Indonesia. Ia sangat
optimis bahwa satu saat nanti Islam di Indonesia akan menjadi kekuatan
signifikan dalam mempengaruhi peradaban dunia.
Harapan Rahman boleh jadi benar, jika melihat kuantitas
umat Islam Indonesia yang sangat besar. Namun bersandar pada aspek kuantitas
tanpa diiringi kesadaran keberislaman sejati bak ‘katak merindukan bulan’.
Gerakan fundamentalis Islam ini memang sangat agresif
dalam memperjuangkan cita idealnya. Mereka menampilkan wajah islam yang
simbolik sebagai pemikat konsolidasi kekuatan mereka. Peforma keislaman
seringkali ditampakan dalam bentuk lahiriah yang seringkali diidentifikasikan
dengan budaya Arab, seperti janggut, gamis, dan jilbab panjang. Dalam merespon
dinamika politik nasional mereka lebih mengusung masalah syariat ketimbang
persoalan kebebasan dan kemiskinan. Salah satu isu utama, misalnya mendorong
PERDA Syari’at, dan RUU pornografi/pornoaksi yang hangat akhir-akhir ini.
Gerakan fundamentalisme Islam Indonesia ini berorientasi sebagai pemurni akidah
dan pengawal syariat dalam kehidupan bangsa Indonesia masa kini.
Bagi Islam fundamentalis Al-Quran dan as-Sunnah adalah
the way of life yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pandangan mereka terhadap
teks-teks agama (nash) terkesan sangat tekstual dan rigid. Sehingga para
pengamat islam mendefinisikan mereka sebagai skripturalisme. Rujukan mereka
dalam memahami Islam tidak lepas dari pemahaman ulama terdahulu (salaf) seperti
Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayim al-Jauziyah, Muhammad bin Abdul Wahab, Ahmad bin
Hambal dan seluruh tokoh ulama salaf yang dikelompokkan sebagai Ahlul Hadis.
Sementara wajah lain Islam Indonesia masa kini adalah
liberalisme Islam. Mereka berhimpun dalam Paramadina, Jaringan Islam Liberal
(JIL), Islam Transformatif, Islam Progresif, Jaringan Intelektual Muda
Muhamadiyah (JIMM), Lkis, dan kelompok diskusi mahasiswa Islam yang mengusung
kebebasan berfikir. Mereka lebih menamplkan Islam yang kontekstual. Mereka
berupaya keras merelevansikan ajaran Islam dengan perkembangan modernitas.
Kebebasan berpikir adalah jargon dalam perjuangan intelektual mereka.
Penafsiran mereka terhadap nash seringkali kontroversial, bahkan mereka tidak
segan untuk meminjam metode penafsiran yang telah dikembangkan agama-agama lain
seperti hermenetika misalnya. Bagi mereka Islam adalah rahmat bagi semesta
alam. Mereka mengapresiasi pandangan klasik Islam namun juga melakukan kritik
tajam terhadap pemikiran Islam para ulama terdahulu. Mereka mengusung
pluralisme, menggugat otoritas keberagamaan, fiqh progresif kontemporer dan
lintas agama, mengedepankan penalaran (akal) ketimbang bersandar pada nash, dan
membangun jembatan toleransi yang luwes dengan agama-agama lain.
Liberalisme Islam di Indonesia ini memang belum
menunjukkan ekspresi intelektual keislaman yang mandiri. Mereka lebih
mengeksplorasi pemikiran Islam liberal yang diimpor dari dunia Islam lain.
Tokoh-tokoh Islam liberal seperti Musthafa Abdul Raziq, Fazlur Rahman, Mohammad
Arkoun, Hasan Hanafi, Nashr Abu Zaid, Hasan Hanafi, Muhammad Abeed al-Jabiri,
dan Abdul Karim Soroush merupakan idola mereka. Tidak jarang artikulasi
intelektualitas gerakan liberalisme Islam Indonesia ini merepresentasikan
pemikiran para tokoh pemikir muslim liberal tersebut.
Liberalisme Islam Indonesia berorientasi pada ranah
kultural. Mereka mengkonsolidasikan gagasan-gagasannya memlalui forum-forum
ilmiah dan media massa. Mereka agak kurang tertarik dalam wilayah politik.
Mereka menjaga jarak dengan kekuatan-kekuatan politik praktis. Seringkali respon
mereka terhadap realitas sosial terkesan senafas dengan agenda liberalisasi
ekonomi dan politik di negeri ini. Isu demokratisasi, HAM, kebebasan ekspresi
dan sistem ekonomi berdasarkan mekanisme pasar bebas merupakan contoh nyata
relasi mereka agenda liberalisasi politik dan ekonomi itu. Sehingga kalangan
fundamentalis Islam menuding mereka sebagai antek-antek kapitalisme
internasional, atau ilntelektual muslim yang sudah teracuni pemikiran Barat.
Dalam konvergensi fundamentalisme dan liberalisme, konflik dan polemik antara gerakan fundamentalisme Islam
dan liberalisme Islam di Indonesia semakin massif pada era pasca reformasi.
Tidak jarang konflik itu mengarah kepada hal yang destruktif. Reaksi keras
kelompok fundamentalis kepada kelompok liberalis Islam seringkali keluar dari
batas kewajaran. Aksi kekerasan nampak jelas mewarnai konflik kedua kubu
tersebut. Fatwa hukuman mati bagi aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang
dilontorkan FKUI beberapa waktu lalu merupakan reaksi destruktif yang patut
disayangkan. Sebaliknya kelompok liberalis Islam acapkali kehilangan dimensi
rasionalitasnya dalam merespon reaksi negatif kubu fundamentalisme Islam itu.
Hujatan dan makian sering dilakukan kelompok liberalis Islam kepada kelompok
fundamentalisme islam itu. Nampaknya belum ada ‘angin segar’ yang lebih
menyejukkan dalam konflik dan polemik antara kedua kubu itu.
Meskipun belum terbukanya jalan konvergensi antara
fundamentalisme dan liberalisme Islam di Indonesia saat ini, tetapi motif dari
kedua gerakan islam itu tetap dalam semangat memperjuangan Islam sebagai way of
life. Kiranya hanya situasilah yang akan mematangkannya. Harapan untuk
berkembangnya dialektika antara fundamentalisme Islam dan liberalisme Islam di
Indonesia menuju konvergensi hanyalah menunggu pematangan proses sejarah.
Muslih Sumantri
Muslih Sumantri
Responses
0 Respones to "Menatap Wajah Islam Indonesia"
Post a Comment