Terorisme dalam perspektif hukum pidana
1 Pengertian teroris
Hingga saat ini, definisi terorisme masih menjadi perdebatan meskipun
sudah ada ahli yang merumuskan dan dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Negara-negara yang menyuarakan memerangi terorisme belum
memberikan definisi yang gamblang dan jelas sehingga semua orang bisa memahami
makna sesungguhnya tanpa dilanda keraguan, tidak merasa didiskriminasikan serta
dimarjinalkan. Kejelasan definisi ini diperlukan agar tidak terjadi salah
tangkap, dan berakibat dan berakibat merugikan kepentingan banyak pihak,
disamping demi kepentingan atau target merespon hak asasi manusia (HAM) yang
seharusnya wajib dihormati oleh semua orang beradab.
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin terrere yang kurang berarti membuat
gemetar atau menggetarkan. Juga dikenal dengan kata teror dengan maksud
kengerian. Pada dasarnya istilah terorisme merupakan sebuah konsep yang
memiliki konotasi yang sangat sensitif karena terorisme menyebabkan terjadinya
pembunuhan dan penyengsaraan bagi orang yang tidak berdosa.
Amerika
serikat misalnya menganggap Irak sebagai teroris karena dianggap memiliki
senjata pemusnah masal, namun disisi lain justru banyak yang menganggap
Amerikalah teroris sejati dan layak diposisikan sebagai negara adidaya dalam
kasus “ terorisme negara” karena telah melakukan invansi ke negara yang
berdaulat tanpa persetujuan dewan keamanan PBB.
Pengertian terorisme pertama kali dibahas dalam European Convention on the Supression of Terrorism (ECST) di Eropa
1977 terjadi perluasan paradigma arti dari
Crime against State menjadi Crime
against Humanity. Crime against
humanity meliputi tindak pidana untuk menciptakan suatu keadaan yang
mengakibatkan individu, golongan, dan masyarakat umum ada dalam suasana teror.[1]
Wacana pembuatan perundang-undangan disambut pro-kontra mengingat polemik
definisi terorisme masih bersifat multi interpretatif, umumnya mengarah pada
kepentingan negara atau state interested.
Tindak
pidana terorisme merupakan tindak pidana murni (malaperse) yang dibedakan dengan administrative criminal law (mala prohibita). Kriminalisasi tindak
pidana terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan
banyak cara seperti
a.
Melalui sistem evolusi amandemen terhadapa pasal-pasal KUHP.
b.
Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap diluar KUHP termasuk
kekhususan hukum acaranya.
c.
Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan
terorisme”. (Muladi 2002).
Untuk
memahami makna terorisme lebih jauh dan mendalam, kiranya dikaji terlebih
dahulu pngertian atau definisi terorisme yang dikemukakan baik oleh beberapa
lembaga maupun oleh beberapa penulis/pakar atau ahli, yaitu:
a). US
Central Inteligence Agency (CIA)
terorisme
internasional adalah terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau
organisasi asing dan atau diarahkan untuk melawan negara lembaga atau
pemerintah asing.
b). US Federal Bureu of Infestigation (FBI)
terorisme
adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil elemen-elemennya untuk
mencapai tujuan sosial atau politik ( suya, 11 September 2002).
c). US Departements of State and Defense.
Terorisme
adalah kekerasan bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok
subnasional terhadap sasaran kelompok non kombotan. Biasanya bermaksud untuk
mempengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan
warga negara atau wilayah lebih dari satu.
d). Black’s
Law Dictionarary.
Tindakan
terorisme adalah kegiatan yang mengakibatkan unsur kekerasan atau yang
menimbulkan efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana Amerika
atau bagian negara Amerika. Dan jelas dimaksudkan untuk mengintimidasi
masyarakat sipil dan mempengaruhi kebijakan pemerintah dan mempengaruhi
penyelenggaraan negara dengan cara penculikan dan pembunuhan.[2]
Dari
beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwasannya kegiatan terorisme tidak
akan pernah dibenarkan karena ciri utamanya yaitu:
1.
Aksi yang digunakan menggunakan
cara kekerasan dan ancaman untuk menciptakan ketakutan publik.
2.
Ditujukan kepada negara masyarakat
atau individu, atau kelompok masyarakat tertentu.
3.
Memerintah angota-anggotanya
dengan cara teror juga.
4.
Melakukan kekerasan dengan maksud
untuk mendapat dukungan dengan cara yang sistematis dan terorganisir.
Teror sendiri mempunyai
definisi umum dan hal itu sesuai dengan ciri utama diatas bahwasanya terorisme
sebagai kekerasan atau ancaman yang dilakukan untuk menciptakan rasa takut
dikalangan sasaran, biasanya pemerintah, kelompok etnis, partai politik dan
sebagainya.
Meskipun unsur-unsur
terorisme sudah dipahami banyak pihak namun tidak mudah untuk ditetapkan,
karena terorisme berhadapan dengan wacana lain tentang kekerasan yang secara
riil dihadapi masyarakat. Kekerasan yang dihadapi oleh masyarakat. Kekerasan
yang dilakukan oleh negara memiliki persamaan dengan ciri-ciri terorisme.
Setiap upaya memberikan definisi terorisme ada kecenderungan yang ditujukan
pada masyarakat.
2. Karakteristik atau ciri terorisme.
Dalam tindakan kriminal terorisme tentunya ada beberapa ciri mengenai
tindakan tersebut diantaranya pendapat para ahli yakni Loudewijk f. Paulus
karakteristik ditinjau dari empat macam pengelompokan yang terterdiri dari:
Pertama, karakteristik organisasi yang meliputi: organisasi, rekrutmen,
pendanaan dan hubungan internasional. Karakteritik operasi yang meliputi:
perencanaan waktu, taktik dan kolusi.
Kedua, karakteristik perilaku yang meliputi: motifasi, dedikasi,
disiplin, keinginan membunuh dan keinginan menyerah hidup-hidup. Karakteristik
sumberdaya meliputi: latihan atau kemampuan, pengalaman seseorang dibidang
tehnologi, persenjataan, perlengkapan dan transportasi. Motif terorisme,
terorisme termotifasi oleh motif yang berbeda. Motif terorisme diklasifikasikan
menjadi tiga kategori: rasional, psikologi, dan budaya yang kemudian dapat
dijabarkan lebih luas.[3]
Bentuk-bentuk terorisme
Ada
beberapa bentuk terorisme yang dikenal, yang perlu kita bahas dari bentuk
ituantara lain teror kriminal, dan teror politik. Kalau mengenai teror kriminal
biasanya hanya untuk kepentingan pribadi dan memperkaya diri sendiri. Biasanya
cara yang digunakan oleh para penteror adalah dengan cara pemerasan dan
intimidasi. Mereka biasanya menggunakan kata-kata yang dapat menimbulakan
ketakutan atau teror psikis. Beda dengan teror bersifat politik yakni dengan
cara tidak memili-milih korban. Dan teror politik biasanya selalu siap
melakukan aksi pembunuhan terhadap orang-orang sipil dengan tidak memandang
usia dengan tanpa memppertimbngkan politik maupun moral. Teror politik
merupakan fenomena sosial yang sangat penting. Sedangkan terorisme politik
mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Merupakan intimidasi koersif 2.
Memakai pemunuhan destruktif secara sistematis sebagai sarana untuk tujuan
tertentu, 3. Korban bukan tujuan, melainkan sarana untuk menciptakan perang
urat saraf, yakni bunuh satu orang untuk menakuti seribu orang.4. target aksi
teror pilihan, bekerja secara rahasia, namun tujuannya adalah publisitas,
5.pesan aksi itu cukup jelas meski pelaku tidak menyatakan diri secara
personal. Miasalnya berjuang demi agama dan kemanusiaan.[4]
Oleh karena itu terorisme harus mendapat perhatian husus bagi kita
semua hususnya pemerintah yang dalam hala ini akan menjamin keamanan bagi
rakyatnya. Dalam menanggulangi dan mengatasi tindakan teror prlu adanya
regulasi yang mengatur tentang hal tersebut sehingga dalam peristiwa yang bisa
mengancam keselamatan naywa seseorang dapat dihindari sejauh mungkin.
Dari uraian diatas dengan deikian istilah teror ialah suatu kesatuan
aksi tak langsung dan terarah untuk mencapai hasil politik tertentu melalui
dampak yang ditimbulkannya. Dari kacamata politik, teror merupakan aksi
sekunder dan bukan yang utama. Artinya, teror jarang sekali merupakan aksi atau
tujuan utamanya atau aksi yang independen(forum keadilan 2002).
Kalau dilihat dari sejarahnya sesungguhnya terorisme mempnyai beberapa
tipologi diantaranya ; bentuk pertama, terdiri dari pembunuhan politik terhadap
pejabat pemerintah yang itu terjadi sebelum perang dunia II. Bentuk yang kedua,
terorisme dimulai di al-jazair di tahun lima puluhan dilakukan oleh FLN yang
dipopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak
berdoa. Bentuk ketiga, terorisme muncul pada tahun enampuluhan dan terkenal
dengan istilah “terorisme media”.
Landasan Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ( TPT)
Dasar hukum yang dipakai dalam menanggulangi TPT di Indonesia terutama
adalah UU nomor. 15 tahun 2003 yang menetapkan Perpu No. 1 tahun 2001 tentang
pemberantasan terorismemenjadi Undang-Undang. Pengertian PTP menurut perpu no.
1 tahun 2002 adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana
sesuai dengan ketentuan dalam pasal 6 adalah: “ setiap orang yang dengan
sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulakan korban yang
bersifat masal, denagn cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran
terhadap objek-objek vital yang setrategis atau lingkungan hidup atu fasilitas
publik atau fasilitas internasional, dipidanakan dengan pidana mati atau
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh tahun)”.
Pasal 7 Perpu No. 1 tahun 2002:
“ setiap orang yang dengan sengaja menggunaka kekerasan atau ancaman
kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulakan korban yang bersifat masal dengan cara
merampas kemerdekaaan atu hilangnya nyawa atau kehancuran terhadap objek-objek
vital starategis ataua lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. [5]
Tujuan diundangnya Undang-undang ini adalah dalam rangka memulihkan
kehidupan masyarakat yang tertib dan aman serta untuk memulihkan kehidupan
masyarakat yang tertib, aman serta untuk memberikan landasan hukum yang kuat
dan kepastian hukum dalam mengatasi permasalahan yang mendesak dalam
pemberantaan PTP.
Kejahatan terorisme adlah kejahatan yang baru masuk dalam dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia yaitu sejak peristiwa bom Bali.
Peningkatan secara tajam TPT di Indonesia baik kualitas maupun kuantitas
memerlukan penanganan yang serius dari pemerintah dan aparat pendukung terutama
kepolisian, kejaksaan dan dan pengadilan.
Respon terhadap serangan Bom Bali I (Oktober 2002).
Peristiwa yang merengut banyak nyawa terjadi pada bulan oktober
tepatnya tanggal 12 Oktober 2002 terjadi suatu tragedi yang mengerikan dan
sempat mendapat perhatian dari belahan dunia pasalnya banyak korban WNA yang
tewas sekitar duaratus orang baik dari WNA dan WNI.
Dengan peristiwa bom Bali pemerintah merespon dengan mengelaurkan perpu
no. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan terorisme dan perpu no. 2 tahun
2002tentang pemberlakuan perpu 1 tahun 2002 tentang pemberantasan PTP pada
peristiwa peledakan bom Bali 12 oktober 2002. Sementara itu dunia
internasioanal merespon melaluiresolusi PBB tanggal 28 oktober 2002 dengan
resolusi 1438 yang isinya pernyataan simpati dan belasungkawa PBB terhadap
pemerintah dan rakyat Indonesia, korban dan keluargaya.
Permasalahan dalam penanganan terorisme di Indonesia.
Dalam
memberi perlindungan dan payung hukum Indonesia sebagai negara hukum
memberlakukan Undang-undang no. 15 tahun 2003 yang isinya menetapkan perpu no.
1 2002 menjadi undang-undang.
Berkaitan dengan payung hukum tersebut
dapat diberikan beberapa catatan yang kajian akademik yang antara lain
berkaitan dengan:
1.
Rumusan pasal-pasal yang bersifat
elastis.
Rumusan-rumusan yang sifatnya elastis
dapat dilihat pada pasal 6 dan pasal 7 perpu no. 1 tahun 2002 akan menyulitkan
orang yang terkena dampak ataupun aparat penegak hukum ynag menjadi pelaksana
dari akibat berlakunya perpu ini.
Dari uraian diatas selintas dapat dilihat
bahwa definisi terorisme seperti yang dimaksud oleh perpu ini belum dapat
digunakan untuk mengkalkulasi/ kuantifikasi sesuatu perbuatan dan akibat dari
perbuatan tersebut sehingga perbuatan itu dapat dikategorikan sebagai TPT.[6]
Kebijakan Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme.
Kalau kita mengamati dan memperhatikan keberadaan tindak pidana
terorisme yang ada di Indonesia maka sikap kita sebagai warga negara yang
menganut negara hukum dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme
maka didasarkan pada paradigma yang sesuia dengan ciri negara hukum.
Undang-undang kita menganut dan berkarakter kedaulatan rakyat, juga dianutnya
asas legalitas dan dihormatinya hak asasi manusia dengan mengejewantahkan
peradilan yang bebas dan mandiri. Max weber mengungkapkan konsep negara hukum
dan rasional, diantaranya: aturan hukumnya memiliki suatun kualitas normatif yang
umum dan abstrak, merupakan hukum positif yang diputuskan secara sadar
diperkuat oleh kekuasaan yang memaksa dari negara dalam bentuk sanksi,
sistematis, dan substansi hukum sama sekali terpisah
daripertimbangan-pertimbangan agama dan ethis.
Dari pendapat Max
Weber tersebut diatas, maka kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme
diwujudkan sebagi upaya mewujudkan fungsi dan ciri hukum sebagaimana diamnatkan
oleh undang-undang 1945, yakni Indonesia sebagai negara hukum harus melindungi
masyarakat dari ancaman bahaya dan tindakan merugikan yang datang dari sesamanya
dan atau kelompok masyarakat.
Minimnya perlindungan terhadap hak-hak
tersangka
Undang-undang
pemberantasan telah mengatur secara rinci hak dan kewenangan penyidik,
penuntut, hakim dan korban, tetapi untuk hak-hak tersangka/terdakwa belum
terekomendasi, antara lain:
a.
Hukum untuk diberitahukan
secepatnya alasan penangkapan dan penahanan.
b.
Hak untuk mengajukan keberatan
apabiala ada tindakan kekerasan.
c.
Hak terdakwa untuk berhubungan
dengan pihak yang berkepentingan.[7]
Dalam proses penyidikan dan penyelidikan maka perlu diatur perlindungan
terhadap saksi, pelapor, korban dan aparat penegak hukum. Dalam perpu no.1
tahun 2002 telah memberikan perlindungan kepada pihak-pihak yang berkaitan PTP
seperti saksi,penyidik( yang dalam menjalankan tugas terpaksa harus menutup
wajah ) terhadap penuntut umum dan hakim yang memeriksa perkara TPT.
Perlindungan tersebut dapat berupa:
1.
Pelindungan atas keamanan pribadi.
2.
Kerahasiaan identitas saksi; dan
3.
Pemberian keterangan di muka
persidangan dengan tanpa bertatap muka dengan terdakwa.
Adapun perlindungan tersebut sesuai dengan
undang-undang no. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban yaitu:
1.
Memberikan keterangan tanpa
tekanan.
2.
Mendapat penerjemah.
3.
Bebas dari pertanyaan menjerit.
4.
Mendapatkan informasi mengenai
perkembangan kasus.
5.
Mendapatkan informasi mengenai
putusan pengadilan.
6.
Mengetahui dalam hal terdakwa
dibebaskan.
7.
Memperoleh penggantian biaya
transportasi sesuai kebutuhan.
8.
Mendapat nasihat hukum.
Selain itu perlindungan
terhadap para saksi dan korban PTP perlu juga dipikirkan dalam bentuk
Kesimpulan
Dari uaraian diatas
dapat kami tarik kesimpulan bahwa tindakan terorisme ini adalah tindakan ekstra
ordenari yang harus kita perangi bersama sehingga tidak ada lagi kekerasan atau
intimidasi yang bisa mengganggu keselamatan nyawa setiap manusia. Tentunya
pemerintah yang dalam hal ini sangat bertanggung jawab untuk menciptakan
kedamaian masyarakat dengan cara membuat regulasi yang tepat untuk memberantas
tindak pidana terorisme. Dengan adanya regulasi yang mengatur didalamnya ,
diharapkan kejahatan yang dapat merenggut banyak korban jiwa ini dapat
berkurang bahkan lebih berharap tidak ada lagi tindakan pidana terorisme dimuka
bumi ini.
[1] Kejahatan
terorisme perspektif agama, ham dan hukum.Bandung: 2004 : hlm: 23
[2] Ibid, hlm: 25
[3] Kejahatan terorisme perspektif agama, ham dan hukum, Bandung, Refika
aditama, 2004: hlm; 32
[4] Ibid; hlm: 38
[5] Kebijakan politi kriminal, yogyakrta, 2010 pustaka pelajar: hlm 118
[6] Kebijakan politik kriminal, 2010 pustaka pelajar ,jogjakarta. Hlm: 123
[7] Ibid. Hlm: 126
Responses
0 Respones to "TERORISME DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA"
Post a Comment