“Kita ini masyarakat Hukum, bukan sekadar paguyuban manusia Undang-Undang”.
Pak Kusen, seorang petani sederhana yang bisa dibilang sudah banyak ‘makan garam’ negerinya sendiri. Hampir enam dasawarsa ia hidup di belahan bumi yang kondang dengan julukan gemah ripah loh jinawi ini. Jadi, wajar kalau ia mampu membaca banyak warna peristiwa. Misal, mulai dari kasus yang menimpa Pengawal Konstitusi Negara, kasus Century, Hambalang, simulator SIM, pengadaan al Qur’an, aneka ragam gratifikasi, money-laundry atau TPPU, dan pelbagai wajah kasus lainnya yang hampir serupa. Sampai kejahatan akademik pun, ia tak mau melewatkannya, seperti masalah ‘Ghost Writer’ atau lebih familiar dengan panggilan ‘Pelacur Intelektual’ itu, maupun persoalan ‘dol-tinuku’ beberapa carik kertas berisi jawaban Ujian Akhir Nasional.
Bermula dari hasil bincang ringan usai acara ‘yasinan’ dengan beberapa rekannya, Pak Kusen berkeinginan untuk menyelenggarakan semacam acara kecil-kecilan—dialog sederhana—guna membicarakan soal hukum di negeri ini. Meski hidup di kampung yang agak terpencil, namun tak sedikit pula penduduknya yang melek pendidikan. Jadi, bukanlah suatu hal yang berkesan nyeleneh jika acara semacam ini berlangsung ditempatnya. Lantas, tekad itu ternyata benar-benar digarap serius oleh Pak Kusen dengan meminta bantuan menantunya, Kang Amad, yang merupakan lulusan dari sebuah Perguruan Tinggi.
Minggu pagi, sekitar pukul sembilan lebih, sebuah papan menempel di dinding ruang tamu Pak Kusen dan bertuliskan, “MENGGUGAT SEBUAH TRADISI”. Namun, sebelum memulai dialog, Pak Kusen terlebih dahulu menyempatkan sedikit waktu untuk menyampaikan beberapa hal yang menyinggung soal watak dialog, berharap dialog nantinya benar-benar terarah dan sehat.
“Saudara-saudaraku, di dalam percaturan modern dewasa ini, kita sering terlibat dalam pelbagai dialog yang selalu diusahakan “ilmiah”, yang biasanya cenderung terkonsentrasi ke satu sudut yang “ter-intelektual” saja, yang seakan-akan kita hanyalah kumpulan dari gumpalan-gumpalan otak belaka yang berkumpul dan berembuk, ditambah semacam etos sikap yang hidup-mati mempertahankan setiap pendapat tentang kebenaran ilmiah yang kita pegang. Etos begini tidak jarang membikin kita defensif buta, diongkosi harga diri yang membantu, dan membawa kita pada ketertutupan yang justru membendung alternatif kebenaran baru yang mungkin kita peroleh dari kesiapan kita untuk tidak saja benar, tapi juga salah. Yang terjadi kemudian adalah suatu ironi—di satu sisi, kita ngotot kudu kreatif, dinamis, inovatif. Sedangkan di lain sisi, kita jumud dan tertutup. Di satu pihak, kita meyakini relativitas pengetahuan kita (terbenturnya pikiran kita oleh garis cakrawala yang merupakan isyarat ke-tak-terbatasan dan ke-tak-terhinggaan ilahiah), dan di lain pihak, kita acap kali bersikap lemah dengan bersikap mutlak-mutlakan menggenggam kebenaran diri. Sehingga celah untuk menyaksikan kesalahan diri-sendiri menjadi tertutup” tutur beliau.
“Maka dari itu, marilah kita buka acara ini dengan berdo’a bareng-bareng yang dengannya semoga kita tetap diberi kesadaran dan kewarasan ditengah gesekan pikiran, pendapat, dan wawasan nanti”.
Usai berdo’a, Pak Kusen pun langsung mengawali terjun pada pembahasan, “Poro sederek, harus diakui, tak sedikit dari penstudi hukum sekarang ini yang terbelenggu dengan pola pikir legalis sempit seperti ini, “Hukum, tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah segepok aturan formal”. Studi hukum pun seolah identik dengan studi legal-formal. Maka tidak heran, muncul konstruk pikir yang agak aneh menyangkut konsep ilmu hukum. Ilmu hukum, sekadar dipahami sebagai ilmu peratuan, lengkap dengan metodenya, ‘Metode Penelitian Aturan’. Tidak terlalu jelas dasar episteme dari konsep itu, dan mengapa orang begitu terpikat padanya sampai-sampai metode tersebut dianggap harga mati bagi studi hukum. Ada sejumlah persoalan krusial yang segera tampil untuk menggugat tatkala studi hukum dipahami dalam konsepsi dangkal ini”.
Para hadirin pun mulai terdengar bergemuruh, bermacam-macam pendapat dengan otomatis tertuang dalam ruangan kecil ini. Ada yang berargumentasi bahwa hukum itu merupakan kepentingan ‘kaum berpunya’, maka, dia tak bisa lepas dari ekonomi. Hukum adalah sebuah alat legitimasi dari kelas ekonomi tertentu. Mengapa sebuah hukum kerap dirasa sangat ‘mengerikan’ dikalangan masyarakat kecil? Itu karena hukum telah dikuasai oleh kelas pemilik modal. Isu utama dalam hukum, bukanlah keadilan. Anggapan bahwa hukum itu merupakan tatanan keadilan, hanyalah omong kosong belaka. Faktanya, hukum melayani kepentingan ‘orang berpunya’. Ia tidak lebih dari sarana penguasaan dan piranti para pengeksploitasi yang menggunakannya sesuai kepentingan mereka.
Disebelah sana juga terdengar argumentasi lain yang mengatakan bahwa “hukum sebagai moral sosial”, dan pada hakekatnya adalah ekspresi solidaritas sosial yang berkembang dalam suatu masyarakat. Tak ada masyarakat dimana pun yang dapat tegak dan eksis secara berterusan tanpa adanya solidaritas. Sebagai tiang utama integrasi, solidaritas sosial bergerak dan berubah seirama dengan perkembangan sosial dalam masyarakat. Ada juga yang ‘tetanggenan’ pada teori “hukum itu jiwa rakyat”. Dan untuk memahami nilai-nilai hukum itu, tidak tersedia cara lain kecuali menyelami inti jiwa dari rakyat. Jiwa rakyat itu, bukanlah sesuatu yang dekaden dan statis. Ia merupakan mosaik yang terekonstruksi dari proses sejarah, dan akan terus berproses secara historis. Oleh karena itu, perlu kelengkapan metode budaya dan historis.
Sampingnya lagi mengatakan bahwa hukum merupakan pilihan sadar manusia untuk mengamankan hidup masing-masing terhadap serangan dan keberingasan orang lain. Supaya efektif, maka hukum butuh penegak yang kuat, yaitu penguasa yang punya kekuasaan besar dalam negara. Lainnya menyahut, hukum merupakan buah kehendak manusia yang ‘berjiwa sosial’ agar sosialitasnya tetap terjaga.
Dialog seputar makna hukum pun terus berkelanjutan, hingga akhirnya Pak Kusen angkat suara sebelum acara tersebut ditutup, “Mohon maaf saudara-saudaraku, saya rasa kita tadi telah banyak mendengarkan argumentasi demi argumentasi yang berhasil membanjiri ruangan ini. Laiknya sampeyan-sampeyan semua, saya pribadi pun punya pandangan sendiri menyangkut makna hukum ini. Menurut saya—mengacu pada tesisnya trio filsuf Athena—“hakekat hukum adalah keadilan”. Hukum berfungsi melayani kebutuhan keadilan dalam masyarakat. Dia menunjuk pada suatu aturan hidup yang sesuai dengan cita-cita tentang hidup bersama, yakni keadilan. Isi kaidah hukum, harusnya adil. Tanpa keadilan, hukum hanya merupakan kekerasan yang diformalkan. Maka Ius, sebenarnya tidak sama dengan lege. Lege menunjuk pada aturan-aturan hukum yang faktual ditetapkan, tanpa mempersoalkan mutunya. Sedangkan Ius menunjuk pada cita hukum yang harus tercermin dalam hukum sebagai hukum, yakni keadilan”
“Tetapi, meski kita banyak perbedaan dalam menggali dan memaknai, saya yakin kita semua sudah mengerti dan paham bahwasannya hukum memanglah bersifat multi-logika, multi-interpretasi, atau multi-tafsir. Namun tetaplah memiliki muatan positif bagi kelangsungan hidup manusia. Karena hukum merupakan media ketertiban dan keamanan yang selanjutnya dikaitkan dengan gagasan kontrak sosial, makanya disana ada yang menyodorkan ‘tesis moral dan keadilan’ dan ‘tesis cinta kasih dan hidup damai’”
“Dan pada akhirnya, saudara-saudaraku, tibalah kita di penghujung acara dan moga dengan terselenggaranya acara ini, kita semua mendapat segala kebaikan dan barakahnya. Amien”. Pungkas Pak Kusen.
Lantas, acara ditutup dengan hikmat yang selanjutnya disusul dengan tradisi saling berjabat tangan satu sama lain. Selang beberapa menit kemudian, adzan Dzuhur pun terdengar.
Dan sekarang, mari kita sembahyang.
************
[Mungkin] Mahasiswa Studi Hukum.
Kediri, 17 Februari 2014.
Responses
0 Respones to "“PISAU” PENCONGKEL MAKNA HUKUM"
Post a Comment