BONUS: Cerpen Sepuluh Juta Rupiah karya Denny Prabowo Suara Karya, Edisi 03/26/2006 Rojak
memukul kentongan, memberi isyarat waktu telah melintasi ambang hari,
menyusuri gang-gang becek yang mulai sepi, sehabis hujan mengguyur sore
tadi. Lima belas tahun sudah dia menjalani profesi sebagai penjaga
malam. Menjaga malam agar tetap kelam. Hampir separuh hidup dia habiskan
terjaga di malam hari, memukuli kentongan dari bambu yang mulai
ditinggali rayap. Lepas Subuh, seusai membasuh wajah dengan air wudhu
dan menyentuh tikar sajadah dengan kening lebarnya, Rojak kembali ke
gubuknya di pinggir kali yang membelah perkampungan dengan pasar.
Di
pasar yang tak pernah lelap itulah, untuk pertama kali Rojak melihat
Romlah. Romlah gadis sederhana yang pandai mengaji. Dia tinggal tidak
jauh dari pasar. Ayahnya pemilik kontrakan yang berjasa membangun masjid
di kampung kumuh di utara Jakarta itu. Hampir
setiap malam Romlah pergi ke perpustakaan yang menempati salah satu
kios di pasar. Di tempat itu Romlah mengajar mengaji dan baca tulis.
Murid-muridnya buruh pasar, mantan preman dan anak-anak wanita penjaja
susila yang tinggal di lokalisasi di bawah jembatan layang. Perpustakaan
itu sendiri dibangun secara swadaya oleh seorang seniman nyentrik yang
pernah belajar di IKJ, dan tinggal di lingkungan dekat pasar itu pada
masa kecilnya.Suara
lolong anjing di kejauhan terdengar lirih, hampir seperti merintih.
Mengabarkan pedih entah pada siapa. Bulan pasi diselubungi mega
kehitaman. Angin bersiut mengantarkan gigil ke tubuh Rojak yang
kerempeng. Lajang menjelang tiga puluh lima itu merapatkan jaketnya.
Berjalan suntuk ke pos jaga yang berada persis di depan perpustakaan
tempat Romlah biasa mengajar mengaji dan baca tulis sehabis mahgrib,
sampai beberapa jam selepas Isya."Elo
punya modal berape mau ngelamar anak gadis gue?" tanya babe Romlah,
beberapa waktu lalu, saat Rojak nekat menyatakan niat untuk melamar anak
gadisnya.Rojak
hanya bisa menunduk ketika itu. Dia sadar betul modalnya hanya
kentongan. Tak ada yang bisa dia janjikan kecuali kesetiaan. Tapi,
kesetiaan saja tidak cukup. Apa yang bisa dianggap cukup dalam hidup
ini?Rojak
berjalan seorang diri menyusuri malam yang seolah tidak menjanjikan
keindahan. Seperti juga lingkungan tempat dia mendamparkan kehidupan:
gang-gang becek - selalu - sehabis hujan mengguyur, air kali hitam sesak
oleh sampah mungkin juga bangkai-bangkai hewan. Sementara perempuan
berpakaian seronok bergandengan mesra dengan lelaki bermulut comberan ke
luar masuk lokalisasi di bawah jembatan layang. Celetukan-celetukan
cabul dari mulut pemuda yang asyik membanting domino sambil mencekik
botol minuman keras, nyaris terdengar setiap malam. Di
tempat itu, keindahan serupa dengan barang langka yang harus
diperjuangkan untuk mendapatkannya. Seperti Romlah, gadis yang pandai
mengaji dan mampu menggetarkan hatinya ketika pertama kali berjumpa pada
suatu magrib di perpustakaan depan pos jaga, yang tak pernah mungkin
dilupakannya. Tapi sepuluh juta rupiah? Dari mana Rojak bisa mendapatkan
uang sebanyak itu? Kalaupun Rojak berpuasa tidak makan dan hanya minum
air putih saja setiap hari selama satu tahun, tetap saja penghasilannya
tak akan mencukupi jumlah itu - sepuluh juta rupiah!Rojak teringat Tarjo, teman kecilnya."Pokoknya,
aku harus jadi orang kaya, Jak! Percuma aku minggat jauh-jauh dari
desa, kalau hanya jadi tukang parkir saja!" Begitu kata Tarjo, beberapa
tahun lalu, sebelum dia menghilang dari kehidupan Rojak. Entah di mana
dia kini. Tapi banyak orang yang percaya kalau Tarjo sudah jadi orang
kaya. Pernah sekali Tarjo mampir ke tempat Rojak dengan mengendarai
sebuah sedan mewah. Tapi Rojak sedang tidak ada di rumah. Dia hanya
mendengar saja dari para tetangga. Kepada Rojak, Tarjo hanya titip
"salam" dan juga sekeranjang buah segar untuknya.Mungkin
Tarjo bisa memberikan solusi atas masalah yang sedang dihadapi Rojak?
Sepuluh juta rupiah bagi seseorang yang mampu membeli sebuah mobil
mewah, pasti bukan jumlah yang luar biasa. Rojak berpikir untuk meminjam
uang dari teman kecilnya itu. Tapi di mana dia bisa bertemu dengannya?
Tarjo memang pernah mampir ke rumahnya, tapi sepertinya dia lupa
menitipkan alamat tempat tinggalnya.Suara
azan Subuh mengudara. Rojak segera meninggalkan pos jaga untuk memenuhi
panggilan Yang Kuasa, sebelum kembali ke gubuknya yang sederhana. Rojak
merebahkan tubuhnya di atas dipan kayu, memejamkan mata setelah letih
terjaga sepanjang malam yang tak menjanjikan keindahan. Dalam tidurnya
Rojak bermimpi bertemu dengan Tarjo."Sepuluh juta?""Segitu yang diminta babe-nya Romlah, kalau gue mau kawin sama anaknya.""Hmm...""Ada?""Kapan butuhnya?""Secepatnya! Kalau perlu sekarang juga! Gue udah nggak tahan pengin bersanding sama Romlah di pelaminan!"Tarjo tertawa mendengar ucapan teman kecilnya."Bisa?""Ikut aku!""Ke mana?""Kamu mau uang kan?""Iya."Tarjo
mengeluarkan motor dari garasi rumahnya yang bertingkat dua. Tanpa
diberi komando lagi, Rojak nangkring di atas boncengan. Meski Rojak
bingung, dia tak lagi ingin menanyakan ke mana Tarjo akan membawanya
pergi. Dia percaya bahwa teman baik yang sudah dianggap seperti saudara
itu, pasti akan membantunya. Tarjo menghentikan sepeda motor bermesin
dua tag di pelataran parkir sebuah kantor bank cabang."Mesin
ATM-nya di situ, Jo!" tegur Rojak, saat melihat Tarjo melangkah
menghampiri pos satpam, dengan senyum terkembang. Tarjo tidak
menggubrisnya. Rojak hanya bisa menguntitnya."Selamat malam, Pak?" sapa satpam itu, berusaha bersikap ramah, di balik senyum curiganya.Tarjo membalasnya dengan senyum."Ada perlu apa ya?""Teman saya butuh uang, saya mau mengambil uang.""Oh, ATM-nya di situ, Pak!" "Saya nggak mau ambil uang di ATM. Tapi di dalam," kata Tarjo menunjuk ke arah kantor yang masih tutup."Tidak bisa, Pak. Masih pagi buta. Kami belum buka.""Kalau
pakai ini, bisa?" Tarjo mengeluarkan pistolnya dari balik jaket kulit,
menempelkannya ke perut satpam itu. Satpam itu membelalak. Bola matanya
membulat, terlihat seperti hendak keluar dari ceruknya. Tarjo segera
melucuti senjatanya."Jo..." bisik Rojak di telinga Tarjo. "Kamu diam saja. Kamu butuh uang, kan?""Iya. Tapi..."Tarjo
mengeluarkan sepucuk pistol rakitan dari balik jaketnya. "Pegang ini!"
Tarjo menyerahkannya kepada Rojak. Gamang tangan Rojak menerima pistol
itu. "Satpam yang di dalam bagian kamu!" katanya pula seperti sudah tahu
dengan situasi di tempat itu.Tarjo
menggiring satpam itu ke bangunan yang masih tampak sepi. Pagi masih
serupa bayi yang baru keluar dari rahim malam. Dengan perasaan cemas
Rojak menguntit langkah Tarjo, sambil kepalanya menoleh ke kanan, kiri,
dan belakang, takut aksi mereka dipergoki.Seorang
satpam lain muncul dari dalam, sesaat setelah teman sejawatnya membuka
pintu masuk kantor bank itu. Sebelum sempat menyadari apa yang tengah
terjadi, Tarjo segera menodongkan moncong pistolnya ke kepala satpam
itu. Seperti tahu isyarat yang disampaikan Tarjo lewat matanya, Rojak
segera meringkus satpam itu. Dengan
mudah keduanya berhasil dilumpuhkan. Mereka mengikat serta menyumbat
mulut satpam-satpam tak becus itu dengan sapu tangan, setelah sebelumnya
memaksa mereka menunjukkan tempat penyimpanan uang. Dengan peralatan
yang dibawanya, Tarjo sukses membuka pintu brankas. Dia terlihat sangat
ahli dalam melakukannya. Dia bahkan tak membutuhkan waktu lama."Sudah
pekerjaanku." Begitu kata Tarjo waktu Rojak tampak terkesima
menyaksikan kerja Tarjo yang super cepat. Jadi, itu pekerjaannya
sehingga dia mampu memiliki sebuah sedan mewah? Pikir Rojak.Dalam
sekejap, tumpukan uang di dalam brankas berpindah ke dalam tas yang
Tarjo bawa. "Sudah cukup, Jo. Gue cuma butuh sepuluh juta!""Apa
bedanya sepuluh juta dengan sepuluh miliar yang kita ambil dari bank
ini, kalau dosa yang kita terima sama saja? Kalau ingin jadi penjahat
sekalian jadi kakap. Jangan cuma jadi teri!""Gue nggak kepingin jadi penjahat, gue cuma mau kawin sama Romlah.""Ah, sudahlah! Kalau tertangkap hukumannya sama saja, jadi kenapa nggak sekalian ambil yang banyak?!"Rojak tak menjawab. Dia juga tak menolak ketika Tarjo menyampirkan tas berisi sepuluh miliar rupiah itu di pundaknya."Ayo kita pergi!"Segoblok-gobloknya
satpam, tentu mereka pernah mendapatkan pelatihan dari polisi, yang
membuat mereka menjadi cukup terlatih, untuk sekedar melepaskan diri
dari ikatan. Apalagi, Rojak tak terlalu rapat mengikat.Salah
seorang dari mereka melepaskan tembakan tanpa memulai dengan kata-kata,
"Angkat tangan!" seperti yang selalu diucapkan oleh polisi di
film-film. Dan, peluru yang meluncur deras dari moncong senjata itu
tepat mengenai dada Tarjo. Dari mana satpam itu punya senjata, jika
semula Tarjo sudah melucutinya? Rojak jelas tak sempat memikirkannya.
Dia memilih untuk menyembunyikan tubuhnya di balik meja yang terdapat di
ruangan itu. Sambil memuntahkan peluru dari pistol rakitannya secara
membabi buta. Dan, dia cukup beruntung. Satu peluru mampir tepat di
kepala satpam yang menembak Tarjo. Dan, satu peluru lagi sukses mengenai
kaki satpam yang satu lagi."Cepat lari, Jak!" ucap Tarjo di sela erang kesakitannya. "Sebentar lagi polisi pasti datang ke sini!""Gue nggak mungkin ninggalin elo!""Sebentar lagi aku pasti mati. Cepat lari!"Rojak
tak membuang menit, meski sesunguhnya dia tak tega. Apalagi ketika
dilihat olehnya tubuh Tarjo menggelosor ke lantai dengan dada yang tak
hentinya menyemburkan darah.Di
gerbang masuk bank, motor yang dikemudikan Rojak berpapasan dengan
mobil polisi. Segera saja polisi itu berbalik arah, mengejarnya. Terjadi
kejar-kejaran di lalu-lintas yang belum ramai.Salah seorang polisi mengeluarkan tubuhnya dari jendela, membidikkan moncong pistolnya ke arah Rojak, dan... "Dor!"Rojak
terjatuh dari dipan kayu. Mengerang kesakitan. Belum sepenuhnya dia
kembali dari mimpi, telinganya menangkap suara gedoran di pintu
gubuknya. Rojak sempat menduga, kalau yang datang adalah orang yang
diutus untuk menagih utang dengan paksa kepadanya. Karena begitu yang
kerap terjadi pada tetangga-tetangga dekat rumahnya yang memiliki
tunggakan pada seorang rentenir. Tapi gue kan nggak punya utang? Begitu
pikirnya lagi, sebelum beranjak membukakan pintu. Belum lagi sempurna
pintu dikuaknya, seorang lelaki mendobrak paksa, membuat tubuhnya
terdorong beberapa langkah. Beberapa saat kemudian, lelaki berjaket
kulit bersama beberapa orang berseragam polisi meringkusnya. Rojak
berusaha meronta. Tapi percuma."Cepat geledah!"Tak
cukup lama waktu yang terbuang, salah seorang polisi berseragam
menemukan sebuah tas di bawah dipan. Polisi itu membuka resleting tas,
dan menemukan tumpukan uang di sana."Anda kami tangkap dengan tuduhan merampok bank!"Rojak teringat dengan mimpinya. *** |
Responses
0 Respones to "Seberapa Indonesiakah Dirimu"
Post a Comment