ETIKA DAN ILMU
PENGETAHUAN
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Filsafat Ilmu
Dosen :
Dra. Hj. Ermi Suhasti S., MSI.
Oleh :
ALFIAN KHARIS
NIM : 09350077/ AS-B
AL- AHWAL ASY-SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN KALIJAGA
2011
PENDAHULUAN
Seringkali keilmuan dan etika dikonfrontasikan dalam
konsepsi kontemporer. Karena berkembang pendapat dimasyarakat bahwa keilmuan
saat ini maju sedemikian pesatnya sehingga meninggalkan nilai-nilai etika
apalagi agama. Sikap konfrontatif dan kecurigaan itu hanya bisa terjadi bila
kurang pengetahuan dan kompetensi masing-masing mengenai yang terjadi dalam
bidang riset ilmiah dan apa yang khas bagi etika serta monotheisme otentik
dalam artian agama. [1]
PEMBAHASAN
Situasi problematis yang dihadapi oleh etika, ilmu dan agama
kini tidak lagi bisa dilihat sekedar sebagai problem kasuistik, melainkan
menggugat jauh ke pondasi-pondasi terdasar etika, ilmu dan agama sehingga
pembahasannya bersifat pragmatis.[2]
Memang, jika kita melihat perkembangan keilmuan yang
sangat spektakuler saat ini telah banyak memberikan kontribusi yang sangat
besar pada umat manusia misalnya mempermudah manusia dalam melakukan mobilitas
baik itu dengan menggunakan sarana transportasi dan komunikasi, ilmu kedokteran
yang sangat pesat, atau dengan penemuannya, seperti metode penanaman micro
cips yang berisi data-data komputer ketangan manusia sehingga jika ia
bermaksud menghidupkan komputer mereka cukup hanya dengan melambaikan tangan di
depan CPU, selain itu ia juga dapat memidahkan data dalam micro cips
tersebut ke komputer lain dengan sangat mudah.
Disisi lain sering
timbul kekhawatiran dikalangan umat manusia karena banyak ilmuwan yang tidak
bertanggungjawab dan mengesampingkan moral sehingga banyak kerusakan yang
diakibatkan oleh tangan-tangan mereka,[3] mulai dari krisis
lingkungan yang mengakibatkan terganggunya ekosistem, pemanasan global seperti
efek rumah kaca dan sebagainya. Belum lagi
dengan perkembangan nuklir yang memiliki kekuatan ribuan kali lipat yang
baru-baru ini terjadi kebocoran sehingga menggangu umat manusia, khususnya di
Jepang.
Jika kekhawatiran akan jatuh pada kesalahan membuat orang
curiga terhadap ilmu dan dalam waktu yang bersamaan ia juga menggunakan cara
kerja ilmu pengetahuan dengan tanpa keraguan, maka jangan mengabaikan
kemungkinan untuk membalik prosedur ini dengan menempatkan kecurigaan ini dan
kemudian memikirkan pertanyaan lain.
Karena bukankah ketakutan akan berbuat salah merupakan kesalahan itu
sendiri?[4]
Namun pada tataran praktis ternyata proyek besar ini
malah menghasilkan banyak gejala yang justru bertentangan dengan nilai-nilai
yang diharapkan. Misalnya mulai runtuhnya nilai-nilia kemanusiaan, moral, dan
lain sebagainya. Barangkali salah satu akarnya adalah karena modernisme dalam
menjalankan proyek “kontrol-total”-nya hanya sekedar retorika belaka.
Dalam bidang moral persoalannya hampir sama, seolah-olah
konsep tentang apa yang sesungguhnya “baik”, “adil”, dan “wajib” haruslah
didektekan oleh mereka yang memiliki otoritas dan ahli, dalam hal ini para
filosof.
Pada dasarnya perbedaan utama antara manusia dan binatang
terletak pada kemampuan manusia untuk berpikir tentang bagaimana cara mereka
mencapai tujuan. Manusia seringkali disebut sebagai homo faber[5],
yakni makhluk pembuat alat, dan kemampuan membuat alat itu dimungkinkan karena
manusia memiliki akal yang dapat menghasilkan pengetahuan. Perkembangan
pengetahuan sendiri memerlukan alat atau sarana.
Begitu juga dalam melakukan kegiatan ilmiah secara baik,
maka diperlukan sarana berpikir sehingga memungkinkan bagi seorang ilmuwan
untuk melakukan penelaahan ilmiah secara teratur dan cermat. Penguasaan sarana
berpikir ilmiah ini merupakan hal yang sangat penting bagi seorang ilmuwan.
Pada dasarnya alat ilmiah merupakan alat yang membantu
kegiatan ilmiah dalam berbagai langkah yang harus ditempuh. Dalam hal ini
pengetian bahwa secara ilmiah merupakan kumpulan pengetahuan yang didapatkan
berdasarkan metode ilmiah misalnya pengguna cara berpikir induktif dan
deduktif.
Tujuan mempelajari sarana ilmiah adalah agar memungkinkan
manusia melakukan penelaahan ilmiah secara baik, sedangkan tujuan mempelajari
ilmu dimaksudkan untuk mendapatkan pengetahuan yang memungkinkan untuk
memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Kemampuan berpikir ilmiah yang baik
harus didukung oleh penguasaan sarana berpikir yang baik pula. Dari proses
berpikir yang baik, logis dan ilmiah maka akan dihasilkan ilmu yang ilmiah
pula.
Dalam melakukan kegiatan ilmiah maka seorang ilmuwan
selain harus menguasai sarana atau alat berpikir ilmiah maka ia juga harus
mempertimbangkan etika keilmuan serta memperhatikan tanggungjawab sosial mereka
terhadap produk keilmuan dan masyarakat.
Meskipun perlu disadari bahwa manusia memiliki sisi baik
dan juga sisi buruk akan tetapi sebagai seorang ilmuwan yang memiliki pola
penalaran rasional yang lebuh tinggi daripada masyarakat awam maka hendaknya ia
dapat mereduksi sisi buruk dirinya terutama dalam hal etika atau moral.
Pengetahuan bahwa ada baik dan buruk itu disebut kesadaran etis atau kesadaramn
moral.[6]
Sesungguhnya etika lebih banyak bersangkutan dengan
prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia.
KESIMPULAN
Setelah terjadinya fenomena-fenomena diranah
keilmuan, maka etika sangat berperan penting, khususnya dalam perkembangannya
agar tidak terjerumus kehal-hal yang buruk. Para ilmuan tak hanya dilandasi
pada kejujuran dan patuh pada norma-norma keilmuan, tapi juga harus dilapisi
moral dan akhlak.
Daftar
Pustaka
1.
Poedjawiyatna. 1990. Etika Filsafat Tingkah
Laku. Jakarta; Rineka Cipta.
2.
Jujun S.
Suriasumantri. 2000. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer, Jakarta; Sinar Harapan.
3.
Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W. 2004. Wajah
Baru Etika & Agama. Yogyakarta; Kanisius.
4.
Greg Soetomo. 1995. Sains & Problem Ketuhanan.
Yogyakarta; Kanisius.
5.
Tim dosen filsafat ilmu. UGM. Filsafat Ilmu.1996. Yogyakarta. Liberty
[1]
Greg Soetomo. 1995. Sains & Problem Ketuhanan. Yogyakarta; Kanisius.
Cet. 1.. hlm. 1
[2] I.
Bambang Sugiharto & Agus Rachmat W. 2004. Wajah Baru Etika & Agama.
Yogyakarta; Kanisius. Cet. 5. hlm. 5
[3]
QS. Ar Rum; 41
[4]
Martin Heidegger. 1989. Dialektika
Kesadaran, Perspektif Hegel. (terj). Saut Pasaribu. 2002.Yogyakarta; Ikon
Teralitera. hlm. 33
[5] ,
Jujun S. Suriasumantri. 2000. Filsafat ilmu sebuah pengantar populer, Jakarta; Sinar Harapan. Cet. XIII hlm 165
[6]
Poedjawiyatna. 1990. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta; Rineka Cipta.
Cet. VII. hlm. 26-27
Responses
0 Respones to "Filsafat Etika dan Ilmu Pengetahuan"
Post a Comment