Serambi Seribu Serbi

space disewakan

Resensi Mata Raisa Abidah El Khalieqy




RESENSI MATARAISA

Judul buku  : MATARAISA
Penulis        : Abidah El Khalieqy
Penerbit       : Araska Publisher
Jumlah Hal. : 351 lembar
Cetakan I     : Agustus 2012




            Novel MataRaisa yang ditulis oleh Abidah El Khalieqy ini sebenarnya lebih menegaskan bagaimana kaum perempuan ini mau & berani buka mata akan realita yang ada. Kita sering menjumpai buku-buku ortodok (kaku) Neo Zaraf (Graffiti) yang lebih berunsur  moderat bahkan terkesan bejat, ibarat sok suci takut terkontaminasi, digambarkan Si Ko-Mir (Kopyah Miring) dalam pertokohan pernovelan yang disajikan Abidah, menuduh bahwasanya tulisan raisa yang berjudul ‘’Wanita Palu Nilam’’ itu adalah tulisan yang sarat dengan unsur P-K-I, namun semuanya hanya anggapan sahaja terhadap perempuan. Biar belalu bak angin Mamiri karena syukur itu kuncinya.
            Raisa tokoh utama dalam novel ini disamakan dengan Umrul Qo’is sebagai penyair mu’allaf, jahiliyah misal Nizam dengan Laila Majnunnya (orang gila). Raisa bermakna perempuan pemimpin (asal kata ra’is), didalam novel tokoh Raisa pernah dihujat karyanya sebagai novel Khong Hu Chu atau novel yang membawa pesan Karl Mark, dia merasa perempuan` mayoritas itu bak citra perempuan Jawa dalam serat Chentini, ibarat kata menghujat kemapanan ulama’ namun berarti cinta, kesemuanya mungkin akan berkilau indah seperti mutiara Fairuza, ada jalan dibalik penguasa amarah dan itu akan terjawab setelah anda membacanya.
            Sastra & Setan memiliki perbedaan setipis Jembatan Sirotol Mustaqim yang dipenuhi lembah kata pidatonya setan belantara, didalam karya sastra ini diajarkan untuk Rahmatan Lil Alamin (jiwa), menjadi manusia kritis dan sensitif merespon apapun bentuk ketidak adilan, walaupun kontroversial, penggugat otoritas, estabilishme prespective & politik melalui proses panjang, persamaan persepsi hingga rasio sirna. Datanglah gapaian sorga bersama sang pecinta (Anggur Penagih), sebenarnya fiksi itu dusta yang karim kecuali orang kurang tahu menahu alias Kuper bin Jadul bin Gazebo (gak nyambung bo)
            Dalam novel ini usaha Raisa diperkuat dengan tokoh bu-Nyai yang selalu tegas dan berwawasan, mencolek sanubari pembaca, mengapa perempuan seolah tak berhubungan dengan agama dan pengatahuan, pernahkah Ghozali yang luas ilmunya berpikir tentang itu? Tulis semua masa depanmu dan nyaringkan impian generasimu, Ibunya surga selalu dibelakang kalian, Naharun Nur. Ada Wardah, Fairuz, Wadeh Shafi para seniman yang hanya diketahui penulis dan pembaca pabila mau belajar.
            Perjalanan di Ampel dan menemukan Kurma Nabi berharga mahal namun akan menemukan 10 kali lipat keuntungan, jika tertidur mimpi ketemu Nabi Yusuf & Sulaiman, ketika bangun mendapat 10 kali lipat kebahagiaan, percayalah, langsung diborong 6 tangkai oleh tokoh utama yang pada intinya menemukan unsur berpikir dan bedo’a yang lebih menitik beratkan pada shodaqoh konsep.
            Bermacam-macam backround yang ingin disajikan Abidah, misal tiba-tiba menceritakan kisah Sunan Ampel (Mbah Sonhaji & Mbah Soleh), Kerajaan Mataram dan seluk beluknya, mungkin ingin menyinggung berbagai aspek dan menggambarkan bahwasanya fungsi sastra itu untuk aktif, reaktif, kreatif, dan kritis. Dinovel ini ditegaskan akan kedudukan Adam & Hawa sebagai mitra sejajar dan munculah Revolusi Bunga tanpa jauh dari dunia sufi yang tetap gaul.
            Yogyakarta/ Serambi Madinah, mungkinkah? atau Jombang? Bahasa cinta tersaji didalam novel ini dengan apik, penuh teka-teki. Keyakinan hati yang bicara, bahwa cinta tak harus dibahasakan dengan kata-kata kalau perlu, dustaiku selamanya, katakan tak cinta, biarkan nafasmu menghidupi jiwaku, seabadinya. Bahkan bahasa yang disajikan penulis tak terkesan jadul, malah lebih ke alaisme sejati, kemungkinan untuk menambah daya jenakanya. Menyinggung juga aspek pernikahan pada zaman nabi SAW, patrilineal dari garis ayah dan ibunda Fatimah, tidak lupa kejelasan penafsiran  surah An Nisa’ (4): 34, dengan analisis Hermeneutik.
            Menariknya dalam novel profetik  ini, kenapa bahasa yang ditunjukkan Abidah langsung mengena ke permukaan tanpa basi-basi, apakah terlalu bosan selama ini perempuan dimatanya untuk dunia? Dan yang menjadi pertanyaan lagi kenapa judul novel MATARAISA itu digabung tanpa spasi? tambahan bagaimana pendapat penulis tentang penelitian Felix Siau yang kapitalis sejati hususnya poin ketiga, ketika seorang istri dirumah penghasilan keluarga meningkat?
            Kurang lebihnya mohon koreksi dari penulis sendiri, mencoba mengatasnamakan sorga diatas kedzaliman dan keruhnya zaman. Feminisme sejati, salam literasi

Alfian kHaris. TBM Cakruk Pintar, Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
Cp : 085643413091
No. Rek : 111101007652505. BRI cab. Jogjakarta


Facebook Twitter Google+ Instagram Linkedin Path Yahoo


Responses

2 Respones to "Resensi Mata Raisa Abidah El Khalieqy"

Unknown said...

Novelnya bagus mas :)


29 December 2013 at 21:48
Unknown said...

iya dek, salam literasi


16 March 2014 at 13:23

Post a Comment

 
Return to top of page Copyright © 2013- 2015 | Platinum Theme modification by Alfian Haris