Apa yang harus aku lakukan? Berilah aku saran! Aku benar-benar
pusing.
Apabila masalahku ini
berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan
berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan dan kegiatanku dalam masyarakat.
Lebih-lebih terhadap dua permataku yang manis-manis: Gita dan Ragil.
Tapi agar jelas,
biarlah aku ceritakan lebih dahulu dari awal.
Aku lahir dan tumbuh
dalam keluarga yang -katakanlah-- kecukupan. Aku dianugerahi Tuhan wajah yang
cukup cantik dan perawakan yang menawan. Sejak kecil aku sudah menjadi
"primadona" keluarga. Kedua orang tuaku pun, meski tidak
memanjakanku, sangat menyayangiku.
Di sekolah, mulai SD
sampai dengan SMA, aku pun --alhamdulillah-juga disayangi guru-guru dan
kawan-kawanku. Apalagi aku sering mewakili sekolah dalam perlombaan-perlombaan
dan tidak jarang aku menjadi juara.
Ketika di SD aku
pernah menjadi juara I lomba menari. Waktu SMP aku mendapat piala dalam lomba
menyanyi. Bahkan ketika SMA aku pernah menjuarai lomba baca puisi tingkat
provinsi.
Tapi sungguh, aku
tidak pernah bermimpi akhirnya aku menjadi artis di ibu kota seperti sekarang
ini. Cita-citaku dari kecil aku ingin menjadi pengacara yang di setiap
persidangan menjadi bintang, seperti sering aku lihat dalam film. Ini gara-gara
ketika aku baru beberapa semester kuliah, aku memenangkan lomba foto model.
Lalu ditawari main sinetron dan akhirnya keasyikan main film. Kuliahku pun
tidak berlanjut.
Seperti umumnya
artis-artis popular di negeri ini, aku pun kemudian menjadi incaran
perusahaan-perusahaan untuk pembuatan iklan; diminta menjadi presenter dalam
acara-acara seremonial; menjadi host di tv-tv; malah tidak jarang diundang
untuk presentasi dalam seminar-seminar bersama tokoh-tokoh cendekiawan. Yang
terakhir ini, boleh jadi aku hanya dijadikan alat menarik peminat. Tapi apa rugiku?
Asal aku diberi honor standar, aku tak peduli.
Soal kuliahku yang
tidak berlanjut, aku menghibur diriku dengan mengatakan kepada diriku,
"Ah, belajar kan tidak harus di bangku kuliah. Lagi pula orang kuliah
ujung-ujungnya kan untuk mencari materi. Aku tidak menjadi pengacara dan
bintang pengadilan, tak mengapa; bukankah kini aku sudah menjadi superbintang.
Materi cukup."
Memang sebagai
perempuan yang belum bersuami, aku cukup bangga dengan kehidupanku yang boleh
dikata serba kecukupan. Aku sudah mampu membeli rumah sendiri yang cukup indah
di kawasan elite. Ke mana-mana ada mobil yang siap mengantarku. Pendek kata aku
bangga bisa menjadi perempuan yang mandiri. Tidak lagi bergantung kepada orang
tua. Bahkan kini sedikit-banyak aku bisa membantu kehidupan ekonomi mereka di
kampung. Sementara banyak kawan-kawanku yang sudah lulus kuliah, masih
lontang-lantung mencari pekerjaan.
Kadang-kadang untuk
sekadar menyenangkan orang tua, aku mengundang mereka dari kampung. Ibuku yang
biasanya nyinyir mengomentari apa saja yang kulakukan dan menasehatiku ini-itu,
kini tampak seperti sudah menganggapku benar-benar orang dewasa. Entah
kenyataannya demikian atau hanya karena segan kepada anaknya yang kini sudah
benar-benar hidup mandiri. Yang masih selalu ibu ingatkan, baik secara langsung
atau melalui surat, ialah soal ibadah.
"Nduk, ibadah itu
penting. Bagaimana pun sibukmu, salat jangan kamu abaikan!"
"Sempatkan
membaca Quran yang pernah kau pelajari ketika di kampung dulu, agar tidak
hilang."
"Bila kamu
mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak
yatim."
Ya, kalimat-kalimat
semacam itulah yang masih sering beliau wiridkan. Mula-mula memang aku
perhatikan; bahkan aku berusaha melaksanakan nasihat-nasihat itu, tapi dengan
semakin meningkatnya volume kegiatanku, lama-lama aku justru risi dan
menganggapnya angin lalu saja.
Sebagai artis tenar,
tentu saja banyak orang yang mengidolakanku. Tapi ada seorang yang mengagumiku
justru sebelum aku menjadi setenar sekarang ini. Tidak. Ia tidak sekadar
mengidolakanku. Dia menyintaiku habis-habisan. Ini ia tunjukkan tidak hanya
dengan hampir selalu hadir dalam even-even di mana aku tampil; ia juga setia
menungguiku shoting film dan mengantarku pulang. Tidak itu saja. Hampir setiap
hari, bila berjauhan, dia selalu telepon atau mengirim SMS yang seringkali
hanya untuk menyatakan kangen.
Di antara mereka yang
mengagumiku, lelaki yang satu ini memang memiliki kelebihan. Dia seorang
pengusaha yang sukses. Masih muda, tampan, sopan, dan penuh perhatian. Pendek
kata, akhirnya aku takluk di hadapan kegigihannya dan kesabarannya. Aku
berhasil dipersuntingnya. Tidak perlu aku ceritakan betapa meriah pesta
perkawinan kami ketika itu. Pers memberitakannya setiap hari hampir dua minggu
penuh. Tentu saja yang paling bahagia adalah kedua orang tuaku yang memang
sejak lama menghendaki aku segera mengakhiri masa lajangku yang menurut mereka
mengkhawatirkan.
Begitulah, di
awal-awal perkawinan, semua berjalan baik-baik saja. Setelah berbulan madu yang
singkat, aku kembali menekuni kegiatanku seperti biasa. Suamiku pun tidak
keberatan. Sampai akhirnya terjadi sesuatu yang benar-benar mengubah jalan
hidupku.
Beberapa bulan setelah
Ragil, anak keduaku, lahir, perusahaan suamiku bangkrut gara-gara krisis
moneter. Kami, terutama suamiku, tidak siap menghadapi situasi yang memang
tidak terduga ini. Dia begitu terpukul dan seperti kehilangan keseimbangan.
Perangainya berubah sama sekali. Dia jadi pendiam dan gampang tersinggung.
Bicaranya juga tidak seperti dulu, kini terasa sangat sinis dan kasar. Dia yang
dulu jarang keluar malam, hampir setiap malam keluar dan baru pulang setelah
dini hari. Entah apa saja yang dikerjakannya di luar sana. Beberapa kali
kutanya dia selalu marah-marah, aku pun tak pernah lagi bertanya.
Untung, meskipun agak
surut, aku masih terus mendapatkan kontrak pekerjaan. Sehingga, dengan sedikit
menghemat, kebutuhan hidup sehari-hari tidak terlalu terganggu. Yang terganggu
justru keharmonisan hubungan keluarga akibat perubahan perilaku suami.
Sepertinya apa saja bisa menjadi masalah. Sepertinya apa saja yang aku lakukan,
salah di mata suamiku. Sebaliknya menurutku justru dialah yang tak pernah
melakukan hal-hal yang benar. Pertengkaran hampir terjadi setiap hari.
Mula-mula, aku
mengalah. Aku tidak ingin anak-anak menyaksikan orang tua mereka bertengkar.
Tapi lama-kelamaan aku tidak tahan. Dan anak-anak pun akhirnya sering mendengar
teriakan-teriakan kasar dari mulut-mulut kedua orang tua mereka; sesuatu yang
selama ini kami anggap tabu di rumah. Masya Allah. Aku tak bisa menahan
tangisku setiap terbayang tatapan tak mengerti dari kedua anakku ketika menonton
pertengkaran kedua orang tua mereka.
Sebenarnya sudah
sering beberapa kawan sesama artis mengajakku mengikuti kegiatan yang mereka
sebut sebagai pengajian atau siraman rohani. Mereka melaksanakan kegiatan itu
secara rutin dan bertempat di rumah mereka secara bergilir. Tapi aku baru mulai
tertarik bergabung dalam kegiatan ini setelah kemelut melanda rumah tanggaku.
Apakah ini sekadar pelarian ataukah --mudah-mudahan-- memang merupakan hidayah
Allah. Yang jelas aku merasa mendapatkan semacam kedamaian saat berada di
tengah-tengah majelis pengajian. Ada sesuatu yang menyentuh kalbuku yang
terdalam, baik ketika sang ustadz berbicara tentang kefanaan hidup di dunia ini
dan kehidupan yang kekal kelak di akhirat, tentang kematian dan amal sebagai
bekal, maupun ketika mengajak jamaah berdzikir.
Setelah itu, aku jadi
sering merenung. Memikirkan tentang diriku sendiri dan kehidupanku. Aku tidak
lagi melayani ajakan bertengkar suami. Atau tepatnya aku tidak mempunyai waktu
untuk itu. Aku menjadi semakin rajin mengikuti pengajian; bukan hanya yang
diselenggarakan kawan-kawan artis, tapi juga pengajian-pengajian lain termasuk
yang diadakan di RT-ku. Tidak itu saja, aku juga getol membaca buku-buku
keagamaan.
Waktuku pun tersita
oleh kegiatan-kegiatan di luar rumah. Selain pekerjaanku sebagai artis, aku
menikmati kegiatan-kegiatan pengajian. Apalagi setelah salah seorang ustadz
mempercayaiku untuk menjadi "asisten"-nya. Bila dia berhalangan, aku
dimintanya untuk mengisi pengajian. Inilah yang memicu semangatku untuk lebih
getol membaca buku-buku keagamaan. O ya, aku belum menceritakan bahwa aku yang
selama ini selalu mengikuti mode dan umumnya yang mengarah kepada penonjolan
daya tarik tubuhku, sudah aku hentikan sejak kepulanganku dari umrah bersama
kawan-kawan. Sejak itu aku senantiasa memakai busana muslimah yang menutup
aurat. Malah jilbabku kemudian menjadi tren yang diikuti oleh kalangan
muslimat.
Ringkas cerita; dari
sekadar sebagai artis, aku berkembang dan meningkat menjadi "tokoh
masyarakat" yang diperhitungkan. Karena banyaknya ibu-ibu yang sering
menanyakan kepadaku mengenai berbagai masalah keluarga, aku dan kawan-kawan pun
mendirikan semacam biro konsultasi yang kami namakan "Biro Konsultasi
Keluarga Sakinah Primadona". Aku pun harus memenuhi undangan-undangan
--bukan sekadar menjadi "penarik minat" seperti dulu-- sebagai nara
sumber dalam diskusi-diskusi tentang masalah-masalah keagamaan,
sosial-kemasyarakatan, dan bahkan politik. Belum lagi banyaknya undangan dari
panitia yang sengaja menyelenggarakan forum sekadar untuk memintaku berbicara
tentang bagaimana perjalanan hidupku hingga dari artis bisa menjadi seperti
sekarang ini.
Dengan statusku yang
seperti itu dengan volume kegiatan kemasyarakatan yang sedemikian tinggi,
kondisi kehidupan rumah tanggaku sendiri seperti yang sudah aku ceritakan,
tentu semakin terabaikan. Aku sudah semakin jarang di rumah. Kalau pun di
rumah, perhatianku semakin minim terhadap anak-anak; apalagi terhadap suami
yang semakin menyebalkan saja kelakuannya. Dan terus terang, gara-gara suami,
sebenarnyalah aku tidak kerasan lagi berada di rumahku sendiri.
Lalu terjadi sesuatu
yang membuatku terpukul. Suatu hari, tanpa sengaja, aku menemukan sesuatu yang
mencurigakan. Di kamar suamiku, aku menemukan lintingan rokok ganja. Semula aku
diam saja, tapi hari-hari berikutnya kutemukan lagi dan lagi. Akhirnya aku pun
menanyakan hal itu kepadanya. Mula-mula dia seperti kaget, tapi kemudian
mengakuinya dan berjanji akan menghentikannya.
Namun beberapa lama
kemudian aku terkejut setengah mati. Ketika aku baru naik mobil akan pergi
untuk suatu urusan, sopirku memperlihatkan bungkusan dan berkata: "Ini
milik siapa, Bu?"
"Apa itu?"
tanyaku tak mengerti.
"Ini barang
berbahaya, Bu," sahutnya khawatir, "Ini ganja. Bisa gawat bila
ketahuan!"
"Masya
Allah!" Aku mengelus dadaku. Sampai sopir kami tahu ada barang semacam
ini. Ini sudah keterlaluan.
Setelah aku musnahkan
barang itu, aku segera menemui suamiku dan berbicara sambil menangis. Lagi-lagi
dia mengaku dan berjanji kapok, tak akan lagi menyentuh barang haram itu. Tapi
seperti sudah aku duga, setelah itu aku masih selalu menemukan barang itu di
kamarnya. Aku sempat berpikir, jangan-jangan kelakuannya yang kasar itu akibat
kecanduannya mengonsumsi barang berbahaya itu. Lebih jauh aku mengkhawatirkan
pengaruhnya terhadap anak-anak.
Terus terang aku sudah
tidak tahan lagi. Memang terpikir keras olehku untuk meminta cerai saja, demi
kemaslahatanku dan terutama kemaslahatan anak-anakku. Namun seiring maraknya
tren kawin-cerai di kalangan artis, banyak pihak terutama fans-fansku yang
menyatakan kagum dan memuji-muji keharmonisan kehidupan rumah tanggaku.
Bagaimana mereka ini bila tiba-tiba mendengar --dan pasti akan mendengar--
idolanya yang konsultan keluarga sakinah ini bercerai? Yang lebih penting lagi
adalah akibatnya pada masa depan anak-anakku. Aku sudah sering mendengar
tentang nasib buruk yang menimpa anak-anak orang tua yang bercerai. Aku
bingung.
Apa
yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mengorbankan rumah tanggaku demi
kegiatan kemasyarakatanku, ataukah sebaiknya aku menghentikan kegiatan
kemasyarakatan demi keutuhan rumah tanggaku? Atau bagaimana? Berilah aku saran!
Aku benar-benar pusing!
Label:
Cerpen Gugahan
Responses
0 Respones to "Cerpen Sang Primadona"
Post a Comment