JEDA
Seseorang
berkata, “Jika kamu lebih menyukai diam, maka bicaralah. Namun, kalau
kamu lebih menggandrungi bicara, maka diamlah”. Ini bukan soal mana yang
lebih baik antara keduanya, namun lebih kepada menahan kesenangan atau
hawa nafsu. Bisa jadi bicara itu lebih baik daripada diam dalam satu
kondisi, pun juga sebaliknya. Tetapi jangan lupa, disana juga ada yang
mengatakan, “Jika seseorang tidak menggunakan diam dalam bicaranya, maka
ia tergolong kaum yang ‘kurang cerdas’”. Pitutur seperti ini,
menurut penulis lebih beraksentuasi kepada ‘jeda’. Bukan hanya sekadar
memberi jeda ketika bicara saja, namun juga jeda dalam hal apa saja,
termasuk berpikir dan bekerja.
Ketika kita selalu sibuk bergelut dalam kebisingan dunia intelektual, maka dibutuhkan sebuah jeda berupa asupan ruhani atau semacam sentuhan spiritual guna menjaga keseimbangan mekanisme jiwa dan raga kita. Antara fisik dan psikis sama-sama memperoleh ruang dan asupan gizinya masing-masing. Tak mungkin manusia berjalan terus-menerus tanpa jeda, yakni berhenti. Begitu juga dengan jeda yang berarti menahan. Tak mungkin kita makan terus-menerus kecuali dari awal kita memang merencanakan kerusakan pada sistem pencernaan kita, karena kesehatan itu bukan dengan cara menuruti makan sepuasnya, tetapi justru dengan cara menahan ketika sudah waktunya berhenti, harus ada ruang untuk angin, ruang untuk makanan, dan ruang untuk minuman. Makanya, disana ada tawaran berpuasa.
Selain puasa sebagai ‘jeda tahunan’, juga sebagai pedoman manajemen kehidupan. Dalam menjalankan sistem pemerintahan pun, puasa mampu menerobos dan menawarkan fungsinya. Kita tidak mungkin menggunakan otoritas ketika sedang menduduki singgasana pemerintahan dengan cara sewenang-wenang kecuali kita memang benar-benar merancang kehancuran ke depan, cepat maupun lambat.
Mu’âmalah memerlukan jeda berupa Maḥḍoh, sedangkan Maḥḍoh juga membutuhkan jeda berupa Mu’âmalah. Ayat-ayat al Qur’ân pun memerlukan waqaf sebagai jeda, begitu pun ṭuma’nînah yang hadir dalam tiap-tiap gerakan shalat yang berfungsi sebagai jeda.
Tatkala kita dihadapkan dengan gesekan pendapat, kita sering tak mampu menahan diri disaat menyampaikan pendapat yang kita yakini benar. Sehingga kita sering lupa kalau pada saat-saat seperti itulah jeda sebenarnya mempunyai peranan yang sangat krusial, yakni berpikir sejenak untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan dan kekurangan diri dan mendengarkan pendapat yang lain. Dan ternyata, bicara pun memerlukan ‘puasa’.
Penulis masih ingat betul ketika ada yang bertanya, “Dalam ayat wasta’înû bi al ṣabri wa al ṣalah, kenapa sabar lebih didahulukan daripada shalat?”. Pertanyaan ini terjawab dengan qaul seorang ‘Alim dalam karya agungnya, Mafâtiḥ al ghayb, berkata bahwa makna sabar dalam ayat itu adalah puasa. Puasa atau menahan mempunyai pengertian “membuang segala yang bersifat negatif”, kemudian dilanjutkan dengan shalat yang memiliki konotasi “mengisi dengan segala kebaikan”, “segala yang bermuatan positif”. Usai gelas dicuci bersih, maka menjadi pantaslah ia untuk diisi dengan air bening. Tanpa memberi jeda untuk menahan sebentar guna membersihkan bejana, maka kebeningan air akan sangat rawan tercemari dengan kotoran yang masih melekat dalam wadah tersebut.
Pada akhirnya, semua perlu jeda.
*************
Kediri, 11 Februari 2014.
Ketika kita selalu sibuk bergelut dalam kebisingan dunia intelektual, maka dibutuhkan sebuah jeda berupa asupan ruhani atau semacam sentuhan spiritual guna menjaga keseimbangan mekanisme jiwa dan raga kita. Antara fisik dan psikis sama-sama memperoleh ruang dan asupan gizinya masing-masing. Tak mungkin manusia berjalan terus-menerus tanpa jeda, yakni berhenti. Begitu juga dengan jeda yang berarti menahan. Tak mungkin kita makan terus-menerus kecuali dari awal kita memang merencanakan kerusakan pada sistem pencernaan kita, karena kesehatan itu bukan dengan cara menuruti makan sepuasnya, tetapi justru dengan cara menahan ketika sudah waktunya berhenti, harus ada ruang untuk angin, ruang untuk makanan, dan ruang untuk minuman. Makanya, disana ada tawaran berpuasa.
Selain puasa sebagai ‘jeda tahunan’, juga sebagai pedoman manajemen kehidupan. Dalam menjalankan sistem pemerintahan pun, puasa mampu menerobos dan menawarkan fungsinya. Kita tidak mungkin menggunakan otoritas ketika sedang menduduki singgasana pemerintahan dengan cara sewenang-wenang kecuali kita memang benar-benar merancang kehancuran ke depan, cepat maupun lambat.
Mu’âmalah memerlukan jeda berupa Maḥḍoh, sedangkan Maḥḍoh juga membutuhkan jeda berupa Mu’âmalah. Ayat-ayat al Qur’ân pun memerlukan waqaf sebagai jeda, begitu pun ṭuma’nînah yang hadir dalam tiap-tiap gerakan shalat yang berfungsi sebagai jeda.
Tatkala kita dihadapkan dengan gesekan pendapat, kita sering tak mampu menahan diri disaat menyampaikan pendapat yang kita yakini benar. Sehingga kita sering lupa kalau pada saat-saat seperti itulah jeda sebenarnya mempunyai peranan yang sangat krusial, yakni berpikir sejenak untuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan kekeliruan dan kekurangan diri dan mendengarkan pendapat yang lain. Dan ternyata, bicara pun memerlukan ‘puasa’.
Penulis masih ingat betul ketika ada yang bertanya, “Dalam ayat wasta’înû bi al ṣabri wa al ṣalah, kenapa sabar lebih didahulukan daripada shalat?”. Pertanyaan ini terjawab dengan qaul seorang ‘Alim dalam karya agungnya, Mafâtiḥ al ghayb, berkata bahwa makna sabar dalam ayat itu adalah puasa. Puasa atau menahan mempunyai pengertian “membuang segala yang bersifat negatif”, kemudian dilanjutkan dengan shalat yang memiliki konotasi “mengisi dengan segala kebaikan”, “segala yang bermuatan positif”. Usai gelas dicuci bersih, maka menjadi pantaslah ia untuk diisi dengan air bening. Tanpa memberi jeda untuk menahan sebentar guna membersihkan bejana, maka kebeningan air akan sangat rawan tercemari dengan kotoran yang masih melekat dalam wadah tersebut.
Pada akhirnya, semua perlu jeda.
*************
Kediri, 11 Februari 2014.

Responses
0 Respones to "JEDA"
Post a Comment